Polemik Istilah Kafir, Kafir Atau Nonmuslim ???
Polemik sebutan istilah Kafir sekarang yang ditetapkan oleh NU, menjadi non-muslim menurut bab dari hasil keputusan Bahtsul Masail Munas Alim 'Ulama dan Konbes NU 2019, beberapa hari kebelakang menajadi buah bibir masyarakat. Bahkan sebagian orang gagal paham atas penetapan hal tersebut.
Alkisah Nu pada tahun 1967 M hasil Konbes NU menetapkan bahwa Indonesia itu Da'russalam (Negara yang Damai), bukan Da'rul Islam (Negara Isalam), bukan pula Negara Agama, hal ini berjalan lurus dengan apa yang telah ditetapkan oleh para pendekar kita dahulu, dikala membangun negara demokrasi, negara konstitusi ini. Lalu tahun 1984 prinsip NU mendapatkan tatanan kenegaraan dengan kontitusi negara yang ada.
Maka, tidak istilah Kafir bagi orang-orang yang beragama selain Islam. Penyebutan kata kafir itu merupakan diskriminatif teologis, walau memang iya dalam Al-Qur'an ada kata kafir. Allah memanggil kafir dalam Al-Qur'an sebanyak 2 kali. Qul Ya Ayyuhal Kafirun, dan nanti di Akhirat Yaa Ayyuhalladzina Kafaru La Ta'tadilul Yauma. Maka otomatis tidak layak bagi kita kalau memanggil orang lain yang bukan beragama Islam, toh mereka sama-sama hidup di Negara yang sama dengan kita!?
Dalam membangun sebuah kesatuan bangsa, maka berlaku kewarganegaraan muathonah, orangnya muathin (rakyat). hal ini dilarang ada sesuatu yang sifatnya memanggil orang lain namun mengandung diskrimatif teologis, bahkan termasuk kekerasan teologis. Jelas dalam Islam meyebutkan orang kafir itu Ahli Kitab. di Al-Azhar sekalipun yang merupakan gudangnya para Ulama sedunia, menetapkan bahwa sesama warga negara semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, bersifat saudara dalam tatanan negara. Tidak ada diskriminasi dalam menegakkan keadilan.
Baca Juga => Musabaqoh Akhir Sanah 1440 H Cipulus
Sekian pembahasan dilema polemik istilah kafir, biar kita semua tetap berada dalam keadaan hati yang damai, negaran yang aman, dan menjaga sifat kemanusiaan kita.
Sumber https://abdulkodiralhamdani.blogspot.com/
Alkisah Nu pada tahun 1967 M hasil Konbes NU menetapkan bahwa Indonesia itu Da'russalam (Negara yang Damai), bukan Da'rul Islam (Negara Isalam), bukan pula Negara Agama, hal ini berjalan lurus dengan apa yang telah ditetapkan oleh para pendekar kita dahulu, dikala membangun negara demokrasi, negara konstitusi ini. Lalu tahun 1984 prinsip NU mendapatkan tatanan kenegaraan dengan kontitusi negara yang ada.
Maka, tidak istilah Kafir bagi orang-orang yang beragama selain Islam. Penyebutan kata kafir itu merupakan diskriminatif teologis, walau memang iya dalam Al-Qur'an ada kata kafir. Allah memanggil kafir dalam Al-Qur'an sebanyak 2 kali. Qul Ya Ayyuhal Kafirun, dan nanti di Akhirat Yaa Ayyuhalladzina Kafaru La Ta'tadilul Yauma. Maka otomatis tidak layak bagi kita kalau memanggil orang lain yang bukan beragama Islam, toh mereka sama-sama hidup di Negara yang sama dengan kita!?
Dalam membangun sebuah kesatuan bangsa, maka berlaku kewarganegaraan muathonah, orangnya muathin (rakyat). hal ini dilarang ada sesuatu yang sifatnya memanggil orang lain namun mengandung diskrimatif teologis, bahkan termasuk kekerasan teologis. Jelas dalam Islam meyebutkan orang kafir itu Ahli Kitab. di Al-Azhar sekalipun yang merupakan gudangnya para Ulama sedunia, menetapkan bahwa sesama warga negara semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, bersifat saudara dalam tatanan negara. Tidak ada diskriminasi dalam menegakkan keadilan.
Baca Juga => Musabaqoh Akhir Sanah 1440 H Cipulus
Sekian pembahasan dilema polemik istilah kafir, biar kita semua tetap berada dalam keadaan hati yang damai, negaran yang aman, dan menjaga sifat kemanusiaan kita.