Batasan, Pembagian Dan Jenis Sosiologi
A. BATASAN SOSIOLOGI
Dilihat dari sudut etimologi sosiologi berasal dari dua suku kata:
- Sadus = kawan
- Logos = ilmu pengetahuan
Berdasarkan sudut etimologi, sanggup diberikan batasan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana kita hidup berkawan atau juga bermasyarakat.
Pada hakekatnya sangat sulit untuk merumuskan batasan sosiologi yang meliputi keseluruhan pengertian sifat dan hakekat sosiologi. Biasanya suatu batasan hanya sanggup dipergunakan sebagai pegangan sementara. Oleh lantaran itu definisi atau batasan yang mencoba menjawab ilmu pengetahuan yang terdiri dari kata "socies" dan "logos" ini.
Seorang hebat yaitu Furfey secara khusus mempelajari batasan-batasan sosiologi, menemukan 81 definisi sosiologi dari sosiolog diberbagai zaman dan menyusun buku sebelum tahun 1970an. Dari sekian banyak batasan sosiologi itu oleh Furfey kemudian diperoleh tujuh kategori para hebat yang memperlihatkan definisi sosioiogi sebagai berikut:
Kategori terbesar terdiri dari 23 batasan yang memperlihatkan bahwa obyek studi sosiologi yaitu masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan kesatuan berorganisir lainnya.
Tujuh Belas batasan yang mengambil sebagai obyek studi yaitu, kehidupan kelompok, antar Para anggota kelompok, dan tingkah lain orang-orang dalam situasi kelompok.
Dua belas batasan yang mengemukakan hubungan-hubungan sosial atau asosiasi sebagai obyek materil.
Sebelas batasan yang menyebutkan tanda-tanda sosial sebagai obyek.
Empat batasan menyebutkan perihal kenyataan-kenyataan sosial.
Tujuh definisi menyebutkan obyek studi sosiologi secara samar¬samar.
Sembilan definisi yang tidak menyebutkan obyek studi sosiologi. (Soedjoro Dirdhosiswono, 1982:18-19).
Dari ketujuh kategori di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa sosiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat, kehidupan kelompok, serta gejala-gejala sosial yang terdapat dalam pergaulan hidup, sebagaimana adanya.
Apabila dikaji berdapat batasan sosiologi ibarat dikemukakan beberapa Cara ahli
1) Menurut Pittrim Sorokin (Soejono Soekanto, 1982:17), sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari kekerabatan dan imbas timbal batik antara aneka macam gejala-gejala sosial, contohnya antara tanda-tanda ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, aturan dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya.
2) Hubungan dan imbas timbal batik antara tanda-tanda sosial dengan gejala-gejala lain contohnya tanda-tanda geografis, biologis dan sebagainya.
3) Ciri-ciri umum dari pada semua jenis gejala-gejala sosial.
4) Menurut Roucek dan Warren (Soejono Soekanto, 1982:17), sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari kekerabatan antara rranusia dalam kelompok-kelompok.
5) Menurut J.AA van ,Doom dan CI Lammers (Soerjono Seakanto, 1982:17), sosiologi yaitu ilmu pengetahuan perihal struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
6) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964:14), sosiologi atau ilmu masyarakat yaitu ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahanperubahan sosial.
7) Menurut Sodiman Kartohardiprojo (Soedjono Dirjosisworo, 1982:20), sosiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala dalam pergaulan hidup manusia, termasuk di dalamnya hubungan¬huburgan hukum, jawaban aturan dan sebagainya, dilihatnya sebagai gejala-gejala masyarakat.
8) Menurut Soedjono Dirdjosisworo (1982:20), sosiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari pergaulan hidup insan (masyarakat) beserta gejala-gejala sebagaimana adanya.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa sosiologi yaitu ilmu perihal masyarakat yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan, meliputi struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan¬perubahan sosial, kekerabatan antara insan dengan manusia, insan dengan kelornpok, kelompok dengan kelompok, baik formil, materil, statis atau dinamis. Dengan ringkas sosologi pada hakekatnya ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya dari hidup masyarakat.
B. PEMBAGIAN SOSIOLOGI
Objek sosiologi, yaitu masyarakat yang dilihat dari sudut kekerabatan antara insan dan proses yang timbul jawaban kekerabatan insan dalam masyarakat. Jadi, yang dipelajari dalam sosiologi itu sangat luas antara lain sebagai berikut. Hubungan timbal balik antara insan dengan insan lain. Hubungan antara individu dengan kelompok. Hubungan antara kelompok satu dengan kelompok lain.
Sifat-sifat dari kelompok-kelompok sosial yang beragam coraknya.
Berdasarkan kekhususan dari ruang lingkupnya, berdasarkan Soerjono Soekanto sosiologi sanggup diklasifikasikan menjadi dua macam cabang, yaitu sosiologi umum dan khusus.
a. Sosiologi Umum
Mempelajari dan menyelidiki tingkah laku insan pada umumnya, dalam mengadakan kekerabatan masyarakat.
b. Sosiologi Khusus
Mempelajari dan menyelidiki aneka macam sektor kehidupan bermasyarakat, dari suatu segi kehidupan tertentu. Contoh: Sosiologi pembangunan, membahas masyarakat di dalam pembangunan. Sosiologi industri, membahas masyarakat dalam dunia industri. Sosiologi politik, membahas masyarakat dalam hubungannya dengan politik. Sosiologi hukum, membahas tingkah laku insan dan masyarakat dalam kaitannya dengan aturan yang berlaku. Sosiologi pedesaan, membahas masyarakat di pedesaan. Sosiologi perkotaan, membahas masyarakat di kota-kota. Sosiologi pendidikan, membahas kekerabatan tanda-tanda kemasyarakatan dengan pendidikan. Dan masih ada sosiologi yang lain.
Beberapa teori-teori sosiologi itu yang paling banyak yaitu berasal dari barat. Orang yang pertama kali menggunakan istilah atau pengertian sosiologi yaitu Auguste Comte. Dialah yang dianggap sebagai bapak sosiologi pertama.
C. JENIS-JENIS SOSIOLOGI HUKUM
1. SOSIOLOGI HUKUM SISTEMATIS
Sosiologi aturan sistematis bertugas menelaah kekerabatan fungsional antara kenyataan sosial, jenis-jenis aturan (kinds of law), kerangka aturan (f rameworkof law), dan sistem-sistem aturan (systems of law). Dalam kelompok-kelompok terjelmakan kerangka-kerangka hukum. Kerangka-kerangka aturan ini yaitu sintese dan keseimbangan (equalibria) antara aneka macam jenis hukum. Struktur kelompok yang dibangun oleh sintese dan keseimbangan diantara aneka macam bentuk kemasyarakatan (sociality). Dalam masyarakat majemuk, sintese-sintese dan keserbanekaan kelompok-kelompok melahirkan sistem-sistem hukum.
Jenis-jenis aturan yang bersaing di dalam kerangka aturan berdasarkan dua aspek: horizontal dan vertikal. Sudut pandangan horizontal menganggap jenis-jenis aturan sebagai fungsi-fungsi dari kedalaman yang sama; sudut tinjauan vertikal menganggap jenis-jenis aturan sebagai fungsi-fungsi dari lapisan-lapisan kedalaman yang tindih-menindih dalam kenyataan hukum. Setiap bentuk kemasyarakatan yang aktif, yang mewujudkan suatu segi dari cita kebenaran, dan setiap lapisan ke dalam dari kenyataan aturan mempunyai dua tugas; (1) menelaah jenis-jenis aturan sebagai fungsi-fungsi dari aneka macam macam bentuk kemasyarakatan; (2) menelaah jenis-jenis aturan sebagai fungsi-fungsi lapisan-lapisan kedalaman yang sanggup ditemukan di dalam setiap bentuk kemasyarakatan, apabila bentuk kemasyarakatan itu menjadi fakta normatif.
a. Bentuk-Bentuk Kemasyarakatan dan Jenis-Jenis Hukum
1) Klasifikasi Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Klasifikasi horizontal dari bentuk-bentuk kemasyarakatan berkembang pada dua tingkatan kedalaman yang berlainan: kemasyarakatan yang eksklusif dan impulsif dan kemasyarakatan yang terorganisasi dan direfleksikan. Kemasyarakatan yang impulsif dijelmakan dalam keadaan-keadaan eksklusif (spontaneous states) dari pikiran sehat kolektif, baik berupa praktek-praktek yang dibimbing oleh pola yang luwes, maupun perbuatan-perbuatan kolektif yang melahirkan hal-hal gres serta bersifat kreatif. Kemasyarakatan yang terorganisasi terikat pada pola tingkah laku kolektif dalam arti dibimbing oleh pola-pola yang baku (chrystalized) dalam skema-skema yang dibuat dengan sengaja, yang telah ditentukan terlebih dahulu dan terpusat (centralized). Demikianlah, maka kemasyarakatan yang terorganisasi mentang dinamika spontanitas dari pikiran sehat kolektif dan terpisah daripadanya. Berbagai jenis kemasyarakatan impulsif mengadakan tekanan-tekanan ke dalam, bertindak secara impulsif dalam kesadaran kita menganggapnya sebagai suatu tekanan dari suatu keadaan kesadaran ini kepada kesadaran yang lainnya dan dalam kehidupan kolektif sebagai tekanan dari suatu bentuk kemasyarakatan yang impulsif kepada yang lainnya. Sebaliknya, dalam kemasyarakatn terorganisasi lebih kepada adanya sangsi-sangsi dan pemaksaan dari luar, yang kadangkala terpencil dan sempit dari struktur bawah (infrsturktur) yang impulsif dan terkadang pula struktur bawah ini dalam keadaan tertentu menjadi transcendent. Sementara tabiat atau struktur atas (superstruktur) tergantung kepada sifat hingga dimana dikelilingi oleh struktur bawah yang impulsif dan dalam bentuk-bentuk yang khusus. Dengan demikian kemasyarakatan yang impulsif selalu mendasari kemasyarakatan yang terorganisasi.
Dalam kemasyarakatan yang spontanitas, boleh jadi orang pada mulanya memandang kemasyarakatan lantaran interpenetrasi atau peleburan sebagian (partialfusion) kedalam “kita” (We), sebagai kebalikan dari kemasyarakatan lantaran interpendensi (saling bergantung) antara intuisi kolektif dan perhubungan kelambangan (symbolic communication). Jikalau timbul suatu “Kita” (“Kita bangsa Amerika”, Kita bangsa Prancis”, “Kita bangsa Inggris”, “Kita kaum plotter”, “kita kaum intelektual” dan lain-lainnya), maka “Kita”, ini merupakan suatu keseluruhan yang tidak terbagi lagi, suatu kesatuan gres yang tidak sanggup diurai menjadi jumlah anggota-anggotanya dan bagian-bagian itu tersimpul di dalam keseluruhan.
Lain sekali halnya dengan Kemasyarakatan lantaran konvergensi dan interdependensi, di mana kesadaran dan kelakuan-kelakuan membentuk suatu kenyataan gres lantaran koordinasi dan erat kekerabatan timbal baliknya. Walaupun kesadaran dan kelakuan-kelakuan saling terikat antara keduanya, namun pada hakikatnya keduanya tetap berbeda. Kesadaran dan kelakuan tetap saling transcendent dan bertentangan dengan keseluruhannya meskipun salin berorientasi satu sama lain. Kesadaran dan kelakuan saling bekerjasama dengan mediator tanda-tanda ibarat perkataan, isyarat, pernyataan, tanda-tanda lahiriah, kelakuan-kelakuan yang berarti. Demikianlah, tanda-tanda sebagai perantara, sedangkan pola-pola, lambang-lambang sebagai dasar yang pertama dari terbentuknya kemasyarakatan. Misalnya, dalam pertukaran, persetujuan (kontrak), perhubungan mengenai milik (kekayaan), maka hanyalah isyarat-isyarat lahirih (gestures), pernyataan-pernyataan tertulis dipakai sebagai dasar (basis) bagi ikatan-ikatan yang diperbuat.
Kriterium kedua untuk membeda-bedakan bentuk-bentuk kemasyarakatan ialah intensitas kemasyarakatan yang impulsif oleh peleburan hanya untuk sebagian. Apabila kesadaran terbuka hanya pada permukaan tetapi tertutup pada cuilan yang lebih dalam dan bersifat lebih pribadi disebut massa (masses). Apabila kesadaran terbuka dan saling menyusup hingga pada tingkatan-tingkatan yang aspirasi kepribadian diintegrasikan dalam “Kita” tetapi tidak mencapai puncak integrasi disebut perkauman (community) dan apabila kesadaran terbuka selebar-lebarnya dan kedalaman tidak termasuk dalam pribadi diintegrasikan dalam peleburan kita sebut communion.
Tebal tipisnya peleburan dan tenaga tekanan yaitu sama sekali tidak saling bersesuaian, bertentangan dengan apa yang kita duga. Masa peleburan kesadaran itu paling dangkal adanya dan lapisan-lapisan terdalam tertutup bagi satu sama lain, tetapi tekanan kelompok terhadap individu paling kuat. Sebaliknya, ketika peleburan sebagian dari kesadaran itu merangkum dan mengintegrasikan lapisan-lapisan “aku” lebih dalam maka tekanan terasa kurang dari spontanan sosial. Dalam perkauman (community) tekanan tidak sekuat dalam massa (mases), dalam communion tidak sekuat dalam masyarakat, yang pada hakikatnya hampir tak sekuat ibarat tak kelihatan. Selain itu, kehebatan dan luas kemasyarakatan berdasarkan interpenetrasi, maka intens (hebat) ikatan kemasyarakatan, bukannya makin luas. Tetapi sebaliknya: makin intens makin kurang luas; makin luas, makin kurang hebat. Demikianlah, pada lazimnya, Communion terwujud dalam lingkungan yang sangat terbatas, contohnya communion lebih gampang dalam serikat buruh daripada federasi serikat-serikat buruh. Perkauman itu yaitu bentuk kemasyarakatan di dalam suatu kelompok sedangkan massa dan communion merupakan bentuk kemsayarakatan yang terjelma dalam keadaan tertentu saja.
Penjelmaan-pejelmaan kemasyarakatan kerana semata-mata adanya konvergasi (karena ada titik konvergensi atau hanya lantaran persamaan, pembatasan-pembatasan tertentu, dank arena “hubungan dengan orang-orang lain, baik yang bersifat antar perseorangan atau antar kelompok yang dinyatakan dengan suatu ukuran. Dan yaitu isi ini, yang menjadi tujuan (obyek) gerak penyelarasan kembali (rapprochement) atau perpisahan. Bahkan individu-individu atau kelompok-kelompok yang bersengketa atau bertempur, harus lebih dahulu bertemu dalam suatu obyek-obyek keinginan, kebutuhan, kepentingan, yang dalamnya mereka tidak mencapai saling pengertian. Dalam pengertian ini, maka tidaklah ada perumusan, perjuangan, atau sengketa yang tanpa titik convergensi dalam suatu tanda yang sama, titik convergensi yang ada lebih dahulu daripada ketegangan, tabrakan, pembatasan atau penyamaan.
Kemasyarakatan lantaran peleburan sebagian sanggup dibagi berdasarkan fungsinya. Fungsi yaitu semata-mata suatu aspek dari suatu kiprah (task) bersama yang harus diselenggarakan dan sangat berbeda dengan tujuan (yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu peraturan (statute) dan hanya bekerjasama dengan superstruktur yang terorganisasi) yakni motif dari tindakan (perbuatan) kolektif (collective action), istilah untuk aspirasi dalam kemasyarakatan berdasarkan peleburan (tujuan serta nilai, ke mana ia cenderung). Pertama, kemasyarakatan bersifat unifungsional apabila aktivitasnya terwujud dalam suatu tujuan saja artinya menerima wangsit oleh satu kiprah saja, mendapatkan wangsit oleh satu nilai saja yang dijelmakan dalam satu tujuan saja contohnya peleburan sebagain buruh dalam satu pabrik dan sebagainya. Kedua, kemasyarakatan bersifat multifungsional dimana di dalamnya terdapat aneka macam tugas. Ketiga sifatnya suprafungsional yang didalamnya tersangkut keseluruhan tugas-tugas yang tidak sanggup disebutkan satu per satu aspek dari keseluruhan kiprah tersebut, contohnya peleburan sebagian anggota-anggota suatu bangsa.
Kemasyarakatan unifungsional mengabdi pada kepentingan khusus, kemasyarakatan superfungsional mengabdi pada kepentingan umum (bersama), sedangkan kemasyarakatan multifungsional mengabdi pada kepentingan khusus dan kepentingan umum. Kepentingan umum (bersama) bukan berarti kepentingan dalam kemasyarakatan itu sama. Kepentingan bersama merupakan keseimbangan (equilibrium) diantara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan jumlah aspek-aspek yang senilai dari kepentingan bersama yaitu sama dengan jumlah kemungkinan-kemungkinan dari aneka macam macam yang bertentangan yang hakikatnya sanggup berubah-ubah.
2) Jenis-jenis Hukum yang Bersesuaian dengan Bentuk-bentuk Kemasyarakatan
Mikrososiologi aturan membedakan jenis aturan yang sama jumlahnya dengan bentuk kemasyarakatan yang aktif. Jenis-jenis aturan berdasarkan penjabaran sosiologis secara horizontal, mengemukakan perbedaan terang antara aturan sosial dan aturan perseorangan (hukum antar perseorangan, inter individual law). Hukum sosial yaitu suatu aturan yang berdasarkan integrasi obyektif ke dalam “Kita” ke dalam keseluruhan yang imanen. Orang diperbolehkan dikenakan aturan dan ikut eksklusif ke dalam keseluruhan untuk mengambil cuilan dalam hubungan-hubungan hukum. Hukum sosial berdasarkan pada kepercayaan sehingga aturan sosial tidak sanggup dipaksakan dari luar dan hanya mengatur dari dalam dengan cara imanen. Sehingga aturan sosial itu bersifat otonom.
Hukum perseorangan (individual law) merupakan aturan antar perseorangan dan kelompok yang berdasarkan pada ketidakpercayaan (curiga). Hukum perseorangan mendekatkan orang-orang dengan lainnya namun juga memisahkan dan membatasi kepentingan mereka. Terdapat aturan perdamian yang saling bantu-membantu, mempunyai kiprah yang diemban bersama-sama namun di sisi lain terdapat aturan sengketa, aturan peperangan dan aturan perpisahan, yang sanggup memecah belah mereka. Berdasarkan tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban dalam aturan sosial dan aturan perseorangan sangatlah berbeda. Hukum sosial dengan tuntutan dan kewajiban yang saling susup-menyusupi satu sama lain yang merupakan keseluruhan yang tidak terpecahkan dan yang berlaku yaitu keadilan distributif. Dalam aturan perseorangan tuntutan dan kewajiban hanya membatasi dan saling bertabrakan serta menggunakan keadilan komutatif.
Dalam kemasyarakatan interpenetrasi terbagi dalam massa, perkauman (community) dan communion maka aturan sosial sanggup dibagi berdasarkan tingkat intersitanya yakni aturan sosial untuk massa, aturan sosial untuk perkauman, dan aturan sosial untuk communion.
Hukum sosial massa, bahwa ikatan persatuan dalam massa itu sangat lemah namun daya tekannya sangat kuat, maka aturan sosial sebagai pengintegrasi berlaku tidak kuat dan lebih banyak melaksanakan kekerasan. Integrasi yang tercapai hanya terlihat pada permukaan saja. Hukum berlaku bergantung kepada jaminan yang menjadi dasarnya. Tuntutan dari kelompok menguasai kewajiban-kewajibannya sehingga unsur atributif hampir lenyap menghilang kebelakang unsur yang bersifat imperatif. Sedangkan hak-hak dari anggota yang berintegrasi tidak sanggup diketengahkan. Hukum sosial massa berciri aturan obyektif (perintah-perintah) yang hampir mengabaikan hak-hak subyektif. Maka aturan yang mengintegrasikan massa di antara semua bentuk aturan sosial yaitu yang paling bersahabat kepada aturan penguasaan yang subordinatif.
Hukum sosial perkauman, pada hakikatnya perkauman merupakan peleburan untuk sebagain (partial fusion) dan tekanan maka asas aturan sosial yang timbul dalam perkauman ditandai dengan sifat-sifat yang mengikat dan keras. Sifatnya yang mengikat dari aturan sosial perkauman dipengaruhi oleh dua faktor asasi, sebagaimana yang dikemukakan. Pertama, perkauman yaitu bentuk paling seimbang dari kemasyarakatan (sociality) yang berdasarkan interpenetrasi dan biasanya merupakan suatu ikatan sosial yang sangat mantap (stable), yang paling gampang terwujudkan di dalam suatu kelompok. Ini biasanya memberi suatu keteguhan dan kekuatan yang jauh melebihi apa yang diduga kepada fakta normatif dari masyarakat, kepada jaminan yang menjadi tempat berpijaknya aturan tersebut. Kedua, perkauman pada umumnya merupakan suatu bentuk kemasyarakatan yang sangat menguntungkan bagi lahirnya hukum, lantaran disanalah kepercayaan-kepercayaan aturan cenderung untuk dibedakan dari kepercayaan-kepercayaan moral dan ekstase gaib (bersifat religi dan magi), ibarat yang sering berlaku dalam communion. Dalam aturan sosial perkauman suasana atau iklim dari suatu perkauman (community) yaitu suatu milieu yang sangat baik bagi keseimbangan antara aturan sosial yang obyektif dan hak-hak yang subyektif.
Hukum sosial communion, mendefinisikan communion sebagai peleburan sebagian (partial fusion) yang paling kuat dan tekanan yang paling lemah maka aturan sosial communion ditandai dengan asas yang berwibawa dan tekanan yang kurang. Misalnya wibawa adat yang diperlemah lantaran umur communion yang sangat singkat lantaran ketiadaan kematapan (stability) dari interpenetrasi yang dalam. Communion sering bercorak karismatis dan mistis. Lingkungan yang lebih pada kepercayaan-kepercayaan agama dan moral daripada kepercayaan-kepercayaan hukum. Dalam kelompok dengan aturan sosial communion, aturan sosial obyektif menguasai hak-hak subyektif.
Bentuk kemasyarakatan berdasarkan interdependensi dan pembatasan yang dibagi dalam kekerabatan yang berdasarkan perpisahan, penyelarasan kembali (rapprochement) dan yang sifatnya tepat maka aturan perseorangan sanggup dibagi atas aturan perseorangan berdasarkan pemisahan, aturan perseorangan berdasarkan rapprochement, dan aturan perseorangan berdasarkan struktur campuran.
Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan, aturan ini timbul dari sengketa, pertentangan, benturan, dan persaingan di dalam keseluruhan (kelompok) mereka. R. Ihering , merasa yakin bahwa semua aturan perseorangan mempunyai asal yang sama, dan tidak lain dan tidak bukan yaitu mekanisme aturan mengenai sengketa-sengketa bersifat formal dan menjamin kesetiaan segenap pihak kepadanya. Hukum perseorangan berdasarkan pemisahan merupakan tipe yang sangat umum dalam aturan perseorangan lantaran tidak dibatasi oleh aturan rapprochement maupun aturan perseorangan campuran. Hukum jenis ini gampang mengubah dirinya menjadi aturan siapa yang terkuat (law of the strongest) yang selanjutnya melebur kesegala peraturan aturan kemudian menjadi kekerasan. Singkatnya, aturan perseorangan berdasarkan pemisahan unsur atributnya mendorong pemisahan dan menguasai unsur imperatif yang hampir tidak kelihatan.
Hukum perseorangan berdasarkan rapprochement, aturan rapprochement atau dinamakan juga aturan penyelarasan kembali mempunyai bentuk yang agak aneh. Hukum ini ditandai dengan adanya kekerabatan yang pasif. Mungkin untuk menemukan peristiwa-peristiwa yang didalamnya rapprochement yaitu suatu unsur utama, tetapi tidak istimewa dari hubungan-hubungan dengan yang lainnya, yaitu suatu unsur yang dihalangi oleh sedikit pemisahan yang masih ada. Itulah sebabnya rapprochement menjadi bentuk kemasyarakatan yang aktif dan memisahkan hukum. Hubungan-hubungan aktif berdasarkan rapprochement terdapat contohnya apabila diberikan hadiah-hadiah berharga untuk memulai suatu hubungan, atau apabila diadakan konsensi-konsensi tanpa dikembalikan dan tanpa pengertian adanya kewajiban untuk mengembalikan dan lainnya. Dalam aturan perseorangan rapprochement unsur imperatif lebih utama dan menguasai unsur atribut, serta merupakan tipe yang paling bersifat tenang dari aturan individual. Ketika suatu pemberian (hadiah) diiringi dengan asas memberi dan mengambil ataukah konsensi terjadi bersifat timbal balik (reciprocal) maka aturan perseorangan rapprochement berubah menjadi aturan perseorangan yang campuran.
Hukum perseorangan yang berstruktur campuran, aturan ini menyeimbangkan aturan pemisahan dan aturan rapprochement. Bentuk aturan perseorangan yaitu paling umum dan lazim. Ini yaitu bentuk yang terpikir oleh orang pada umumnya, apabila aturan antar perseorangan dan antar kelompok bertentangan dengan aturan sosial. penjelmaan klasiknya yaitu aturan kontrak dan harus pula ditambahkan kategori yang lebih luas daripada aturan transaksi, kredit-kredit, dan segala macam kewajiban. Ikatan aturan yang diselenggarakan dengan kontrak itu terdiri atas: a) suatu konvergensi kemauan-kemauan dari pihak-pihak yang saling mengadakan perjanjian dengan maksud menyelenggarakan kewajiban timbal balik yang berlaku dikemudian hari (rapprochement) dan b) oposisi (pertentangan) dari dua atau lebih kemauan-kemauan yang berusaha betul-betul mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan (untuk memberi sesuatu atau mendapatkan sesuatu dan lain-lainnya: pemisahan). Pihak yang saling mengadakan perjanjian selaras dalam hak-hak dan kepentingan-kepentingan kalau mengenai klausul-klausul kebendaan dan cara melaksanakannya (pemisahan). Maka tidak mungkin menyifatkan dengan secara tegas, sebagaimana yang sering diusahakan secara salah, kekerabatan kontrak, baik sebagai konsensus kemauan-kemauan dan kewajiban-kewajiban (Durkheim) maupun sebagai sengketa serta ketentuannya (Tonnies). Rahasia ikatan-ikatan kontrak, maupun ikatan-ikatan pertukaran pada umumnya, aneka macam macam kewajiban dan lain sebagainya, terletak dalam saling kekerabatan antara rapprochement dan pemisahan.
Hukum sosial massa, aturan perkauman (community) dan aturan kecama’ahan (communion) yaitu kesimpangsiuran dengan aturan sosial dari peleburan-peleburan unifungsional dan superfungsional, yakni aturan yang mengabdi kepada kepnetingan umum atau khusus. Yang harus diperhatikan hanyalah, bahwa aturan sosial peleburan-peleburan superfungsional selalu merupakan aturan umum, aturan sosial dari persatuan-persatuan unifungsional, selalu berupa aturan khusus. Meski pun demikian, ada kecokragaman bentuk-bentuk dari aturan sosial yang impulsif (dinyatakan secara skematis, tidak kurang dari dua puluh empat), bermula dengan aturan sosial khusus dari massa yang unifungsional dan berakhir dengan aturan sosial umum dari communion yang bersifat unifungsional atau multifungsional, aturan sosial untuk umum dari perkauman yang multifungsional atau superfungsional.
b. Sosiologi Hukum Sebagai Pelukisan Lapisan-Lapisan Kedalaman
Setiap jenis aturan yang dibahas hingga kini ini, merupakan suatu skala lapisan-lapisan yang bertingkat, baik aturan sosial, aturan massa, aturan perkauman, aturan communion, aturan unifungsional, multifungsional maupun superfungsional dengan segala kehidupan sosial membuatkan dirinya melalui tingkatan yang skematis dan simbolisme menuju kedinamisan dan kesegeraan (immediacy) yang mengarah ke bawah dan sebaliknya dari spontanitas dan keluwesan kekristalisasi dan konseptualisasi yang kuat mengarah ke atas. Memungkinkan ditemukannya dalam semua aturan suatu kemajemukan vertical (vertical pluralim) dan mempunyai segi rangkap. Ada aturan yang tidak terorganisasi yang selalu hadir di bawah aturan yang terorganisasi. Dilain pihak ada aturan yang ditentukan terlebih dahulu, aturan luwes (fleksibel) yang dirumuskan ad hoc dan aturan intuitif.
Dua penjabaran vertikal ini, yang sering mengacukan satu sama lain, pada hakikatnya tidak saling bersesuaian sama sekali, kerana aturan yang tak terorganisasi keduanya sanggup dikenal dengan tiga macam cara yang berlain-lainan mendahului, ad hoc dan segera. Keduanya tetap aturan positif, lantaran berdasarkan “fakta-fakat normatif” yang menjaminnya dank arena dikenal oleh tiga mekanisme tersebut. Dengan demikian, kita akan memperlihatkan bahwa dua segi penjabaran itu bersilang, dan menuju kepada pengenalan enam macam tingkatan kedalam di dalam sesuatu jenis hukum, yakni: a) aturan terorganisasi yang telah ditentukan lebih dahulu; b) aturan terorganisasi luwes; c) aturan intuitif yang terorganisasi; d) aturan yang tak terorganisasi yang ditentukan lebih dahulu; e) aturan tidak terorganisasi yang luwes; f) aturan tidak terorganisasi intuitif.
Hukum yang tidak terorganisasi dan yang terorganisasi. Hubungan-hubungannya yang berlain-lainan. Hukum yang terorganisasi selalu diletakkan di atas aturan yang tidak terorganisasi yang selalu cenderung menutupi dirinya dengan aturan terorganisasi yang lebih mantap dan keras. Antara aturan yang terorganisasi dan aturan yang tidak terorganisasi tetap selalu timbul ketegangan dan tingkat kehebatannya berubah-ubah. Hal ini timbul lantaran aturan yang terorganisasi tidak pernah untuk keseluruhannya sanggup menyatakan aturan yang tidak terorganisasi. Sebaliknya, aturan yang tidak terorganisasi sanggup hidup tanpa kulit aturan yang terorganisasi.
Di lapangan aturan sosial, aturan tidak terorganisasi memainkan peranan yang jauh lebih besar dibandingkan di lapangan aturan antar perseorangan. Di lapangan aturan antar perseorangan kelancaran hubungan-hubungan dengan orang lain haruslah direduksi menjadi pola-pola yang tipis yang bekerjasama dengan superstruktur terorganisasi yang ada arti hukumnya. Sebaliknya aturan sosial berlaku juga tanpa mediator apapun di dalam tiap-tiap interpenetrasi yang konkrit yang kekhususannya dijelmakannya hic et nunc. Dalam aturan sosial, sengketa, dan kompromi antara tingkatann-tingkatan terorganisasi dan tingkatan-tingkatan yang impulsif dari kehidupan aturan memainkan peranan yang utama. Demikianlah, semoga mendapatkan kejelasan yang lebih nyata, kita hendak membatasi analisis kita pada lapangan ini saja.
Adanya aturan sosial terorganisasi yang diletakkan di atas aturan yang spontan, baik aturan massa, perkauman, atau communion, maka jenis-jenis aturan yang terorganisasi dibagi atas aturan massa yang terorganisasi, aturan perkauman yang terorganisasi, dan aturan communion yang terorganisasi.
Hukum massa yang terorganisasi, bahwa peleburan-peleburan yang kurang intensif (massa) dan peleburan-peleburan yang paling intensif (communion) merupakan milieu yang paling kurang baik untuk menegakkan superstruktur-superstruktur yang terorganisasi. Dalam hal ini superstruktur tidaklah bersesuaian dengan tingkat penyatuan dari infrastruktur. Superstruktur yang terorganisasi sukar mempertahankan dirinya. Jika terdapat perlawanan lebih besar dari kemasyarakatan impulsif maka organisasi memisahkan diri. Semakin bisa massa mempertahankan diri maka sering organisasi itu bisa memperkuat “jarak” yang memisahkannya dengan infrastruktur, menimbulkan keseganan bagi yang ada diluarnya, mengintensifkan transendensi dan kekerasan, serta mempunyai kecenderungan menjadi organisasi dominasi yang bersifat menguasai dan mempunyai aturan yang subordinatif.
Hukum perkauman yang terorganisasi, lantaran adanya penyatuan secara pukul rata menjadi corak khusus perkauman yang sanggup bersesuaian dengan penyatuan superstrukturnya yang terorganisasi dan kehidupan eksklusif dari bentuk kemasyarakatan dan kelangsungan akar-akarnya di dalam bentuk kemasyarakatan yang spontan. Ini terjadi lantaran setiap organisasi yang dilihat dari segi aturan merupakan suatu jaringan hak-hak sosial “subyektif” yang memberi dan membagi kompetensi-kompetensi, maka aturan perkauman yang impulsif yakni antara keseimbangan antara aturan “obyektif” dan hak-hak “subyektif” yang merupakan cirinya, menyatakan dirinya lebih gampang dalam lingkungan yang terorganisasi daripada sesuatu aturan impulsif yang mana pun juga. Hukum sosial yang impulsif dalam perkauman mengikat, mantap, dan pelanggaran-pelanggaran menimbulkan ketidaksetujuan impulsif yang ringan, alhasil aturan perkauman cenderung mempunyai sifat-sifat otoritas dan paksaaan dengan kekerasan.
Hukum communion yang terorganisasi, penyatuan (unifikasi) communion lebih kuat daripada superstruktur yang terorganisasi maka yang tersebut terakhir disini mempunyai dan banyak kesukaran untuk mempertahankan dirinya dan untuk melestarikan dirinya selalu berakar dalam infrastruktur yang ada di bawahnya. Communion cenderung menyempit dan pecah belah sedangkan organisasi cenderung meluas atau mempertahankan status quo. Maka bentuk masyarakatan yang terorganisasi yang letaknya di atas communion hampir tidak sanggup menegakkan dirinya sendiri, contohnya dalam bentuk kemsyarakatan kuno, dimana communion menempati tempat teratas dan organisasi ditingkat minimumnya.
Hukum yang ditentukan lebih dahulu, Hukum Luwes yang ditemui and hoc, Hukum Intuitif. Segala aturan yang spontan, sebagaimana halnya dengan semua aturan yang terorganisasi yang dikenali dengan tiga cara oleh lantaran itu sanggup dibedakan enam lapisan kedalaman dari kenyatan hukum.
(a) Hukum terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu. Lapisan yang teratas dan yang paling kaku dari kenyataan aturan ini yaitu aturan yang bekerjasama dengan organisasi yang tertib teliti dan sementara itu diakui oleh undang-undang, “hukum-hukum”, praktek pengadilan, perkara-perkara, dan lain-lainnya. Corak statis dari aturan demikian itu disebabkan oleh dua hal: hampir tidaknya gerak yang dari yang terorganisasi dibandingkan dengan yang spontan, dan penetapan oleh suatu mekanisme pengenalan teknis yang bertujuan mencegah kesangsian, penciptaan suatu pola membeku yang menguntungkan keamanan hukum, yang kalau tidak, tingkat kekakuannya sanggup berubah-ubah.
(b) Hukum luwes yang ditemui ad hoc. Sifat kurang dinamis dari semua aturan yang terorganisasi di sini menjadi berkurang lantaran cara menemukannya, yang memperhatikan peristiwa-peristiwa dan perkara-perkara yang konkret, sebagaimana halnya dengan aturan yang mengatur berfungsinya ke dalam dari semua organisasi-organisasi, contohnya aturan dari semua manajemen dan dinas pemerintahan, khususnya hukum-hukum sewenang-wenang dan menegakkan disiplin, aturan polisi kehakiman (police juridique), dan lain-lainnya.
(c) Hukum intuitif yang terorganisasi. Sifatnya boleh dikatakan kaku dari aturan yang terorganisasi sanggup dibatasi lebih lanjut oleh cara pengenal secara intuitif. Yakni apabila fakta normatif yang terorganisasi diakui atau dikenali secara eksklusif oleh pihak-pihak bersangkutan yang tertentu. Hukum intuitif memainkan peranan pada tingkat kehidupan soaial yang terorganisasi dalam menerapkan secara efektif hukum-hukum yang luwes maupun yang ditentukan terlebih dahulu dengan mengisi kekosongan-kekosongan di dalamnya dan mengubah arti-artinya.
(d) Hukum impulsif yang ditetapkan. Hukum impulsif ternyata sering dinyatakan lebih dahulu oleh teknik-teknik yang sedikit banyaknya menghentikan geraknya. Hukum ini lebih dinamis daripada aturan terorganisasi yang ditetapkan lebih dahulu, tetapi dengan membandingkan unsur-unsur dari kedua jenis aturan terorganisasi lainnya (hukum luwes atau intuitif) yaitu lebih sukar, lantaran disini semuanya bergantung kepada corak serba tertib dan cermat dari sumber formal, kepada situasi-situasi yang konkret dan kepada keseimbangan-keseimbangan yang tidak mantap (goyah).
(e) Hukum impulsif yang ditemui ad hoc. Disini dinamisme aturan yang tidak terorganisasi hanya menerima rintangan-rintangan yang tidak seberapa banyaknya. Contoh ialah aturan impulsif yang dikenali oleh investigasi bebas oleh seorang hakim, aturan “standars and diretives” dalam ilmu aturan Anglo Saxon, aturan impulsif yang dikenal oleh legalisasi adanya tingkat keadaan-keadaan gres yang tiba dari pihak yang dirugikan sendiri (misalnya konsensi-konsensi oleh majikan dalam aturan perburuhan, atau oleh suatu kelompok negara-negara dalam hukum internasional, dan lain-lainnya).
(f) Hukum impulsif intuitif. Inilah tingkat terdalam dan paling dinamis dari kenyataan hukum. Sifat gerak dari aturan tidak terorganisasi tidak lagi dicampuri oleh cara pengenal, yang sendirinya selalu bergerak dan berubah dengan cepat. Hukum impulsif intuitif, berdasarkan pemahaman secara eksklusif tanpa prosedur-prosedur yang formal dari fakta-fakta tidak terorganisasi yang normatif, oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri, memainkan peranan yang penting sekali dengan memberi kemungkinan bergerak kepada kehidupan hukum.
Sebagaimana yang telah diuraikan, enam lapisan aturan yang diperbedakan oleh mikrososiologi vertikal itu saling bersilangan dengan aneka macam aturan sebagai hasil pembagian mikrososiologi horizontal. Secara skematis, pembagian ini menghasilkan tidak kurang dari 162 (27x6) jenis aturan yang saling bertabrakan dan saling berseimbangan di dalam setiap kerangka hukum, yang intensitas dan aktualitasnya sesuai dengan setiap kelompok, setiap satuan kolektif yang nyata. Jelaslah, bahwa kita mengutarakan angka ini semata-mata untuk menyingkapi suatu citra yang sebenarnya dari “mikrokosmos hukum” yang pada asasnya atau setidak-tidaknya pada kenyataannya, terdapat pada setiap kelompok yang aktif, betapa pun kecilnya kelompok itu. Mikroskomos inilah yang melarang kita menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang terlalu cepat dan gegabah mengenai corak atau tabiat aturan dari aneka macam pengelompokan (misalnya negara, serikat-serikat buruh, gereja-gereja dan lain-lain), dan perihal keteraturan (regularistios) yang menguasai perubahan-perubahan sistem-sistem yang bersesuaian dengan tipe-tipe masyarakat menyeluruh.
2. SOSIOLOGI HUKUM DIFERENSIAL
Tipologi Hukum Dari Pengelompokan-pengelompokan Khusus
a. Klasifikasi Pengelompokan Sosial
Sebagaimana sosiologi aturan sistematis mengawali dengan klasifikasian bentuk-bentuk kemasyarakatan, dan sosiologi hukm diferensial mengawalinya dengan mengklasifikasikan tipe-tipe kelompok atau satuan-satuan kolektif yang nyata, sebagaimana kenyataan aturan itu dipelajari nantinya berdasarkan fungsinya. Setiap kelompok, fungsi-fungsi setiap satuan keolektif yang nyata, merupakan suatu sintesa, suatu keseimbangan dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, kesatuan yang sementara itu diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang lebih luas dari masyarakat yang menyeluruh. Apakah yang member corak khusus kepada kelompok-kelompok khsusus ialah unsure sintesa yang bersifat menyatukan, tetapi tidak bersifat total. Tenaga-tenaga yang sentripetal (mengarah ke pusat) lebih berkuasa dari tenaga-tenaga sentrifugal (lari dari pusat); kesatuan pikiran sehat kelompok lebih berkuasa daripada masyarakat beragam (plurality) dari bentuk-bentuk masyarakat yang diintegrasikan, tetapi dengan syarat bahwa kelompok khusus itu sama sekali tidak terlepas dari masyarakat menyeluruh (all inclusive society), dan tetap ada di dalam suatu keseluruhan yang lebih luas.
Kelompok-kelompok khusus merupakan unsure-unsur pokok dari setiap kelompok yang menyeluruh, dan yang tersebut terakhir ini member corak kesejarahannya. Kelompok-kelompok sama sejenisnya yang berintegrasi; contohnya dalam masyarakat-masyarakat kuno, fasis, atau masyarakat lainnya;berbeda-beda bukan saja berupa fungsi-fungsi daripada keseimbangan-keseimbangan yang tidak stabil yang tersusun oleh bentuk-bentuk kemasyarakatan yang secara tetap ada didalamnya, sejarah dari lingkungan-lingkungan kebudayaan (Timur, Barat, dan lain-lainnya), dan tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh termasuk didalamnya. Keluarga atau kelompok jabatan contohnya mungkin akan berlainan sekali strukturnya dalam satu situasi yang konkret dibandingkan dengan kelompok-kelompok itu dalam situasi yang lainnya. Dalam masyarakat kuno, keluarga yaitu identik dengan klan, klan ini identik dengan gereja, serta kelompok politik, kelompok jabatan yaitu identik dengan persaudaraan magis, sebagaimana dalam tipe-tipe yang menyeluruh, kelompok jabatan ini identik dengan kasta, atau dengan perkumpulan bebas, atau dengan jawatan umum, dan lain-lainnya. Di dalam keluarga, bahkan berbeda dengan kelompok-kelompok lain, terkadang yang berkuasa yaitu keluarga sekerabat, terkadang keluarga berdasarkan perkawinan, terkadang hanya rumah tangga. Tipe-tipe kelompok yaitu lebih konkret, lebih terpengaruh oleh perubahan-prubahan kesejrahan dan geografis daripada bentuk-bentuk kemasyarakatan, itulah sebabnya maka penjabaran ini yaitu lebih sukardan lebih tidak mungkin daripada pengklasifikasian unsur-unsurnya. Selain itu, jikalau pelukisan kelompok-kelompok sanggup berhasil sepenuhnya hanya apabila diperhatikan tipe-tipe dari segala masyarakat yang menyeluruh, yang didalamnya mereka itu diintegrasikan, poin-poin yang menyokong pentingnya studi itu, yakni orang harus bersandar kepada suatu penjabaran umum dari kelompok-kelompok.
Klasifikasi ini haruslah berdasarkan serangkaian kriteria-kriteria yang cermat, yang pada umumnya yaitu saling bersilangan. Kriteria-kriteria itu hendaknya yaitu sebagai berikut: 1) luasnya, 2) lamanya, 3) fungsinya, 4) sikapnya, 5) Asas organisasinya, 6) bentuk paksaannya, 7) jenis persatuannya.
Kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok yang menyeluruh. Satuan kolektif yang nyata terbagi berdasarkan luasnya di dalam kelompok-kelompok khusus dan kelompok-kelompok yang meliputi. Kelompok yang meliputi ini di dalamnya bentuk kemasyarakatan superfungsional diwujudkan. Kelompok yang meliputi didapatkan dalam bangsa, masyarakat internasional dan umat manusia. Sedangkan kelompok khusus, contohnya negara, kota, gereja, keluraga, dan serikat buruh, jabatan-jabatan, kelas-kelas, dan lainnya hanya merupakan kelompok-kelompok sebagian yang terbatas lantaran tidak mewakili lebih dari satu sektor dari kelompok menyeluruh. Di dalam pengelompokan ini hanya sanggup diwujudkan bentuk kemasyarakatan fungsional.
Kelompok-kelompok yang temporer dan yang bertahan lama. kelompok-kelompok menyeluruh saja yang pada hakikatnya berlangsung lama, sebaliknya kelompok-kelompok lainnya hanya bersifat sementara. Kelompok yang bersifat sementara misalnya; (1) orang banyak (crowds), (2) pertemuan-pertemuan (meeting), (3) demonstrasi-demonstrasi, (4) komplotan-komplotan, (5) gerombolan-gerombolan (bands), (6) regu olahraga untuk satu kali pertandingan, dan sebagainya. Kebanyakan kelompok khusus berlangsung lama, tetapi tidak sama lamanya dan pembubarannya banyak sedikitnya dihalangi rintanagn-rintangan.
Kelompok-kelompok berdasarkan fungsi-fungsi. Semua kelompk untuk sebagainnya yang berlangsung usang sanggup dibagi dalam tiga tipe, bergantung kepada sifat umum fungsi-fungsinya dan tidak tergantung kepada hal apakah bentuk unifungsional atau multifungsional yang berkuasa dalam menyeimbangkan mereka. Tipe-tipe itu ialah: (1) Kelompok kekeluargaan berdasarkan nenek moyang mistis atau nenek moyang yang sebenarnya, contohnya klan, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga sekerabat, kelompok anak-anak, dan lainnya. (2) Kelompok berdasarkan kawasan dihubungkan dengan tempat tinggal bersahabat satu sama lain, contohnya dusun, kotapraja, kabupaten, daerah, negara, atau masyarakat politik atau kelompok ketatanegaraan. (3) Kelompok kegiatan ekonomi, semua kelompok yang terlibat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi, contohnya jabatan-jabatan, serikat buruh, koperasi, kasta-kasta, pabrik, dan sebagainya. (4) Kelompok yang tidak mendapatkan laba berupa uang, contohnya partai politik, perhimpunan-perhimpunan kesarjanaan, perkumpulan olahraga, klub-klub. (5) Kelompok mistis-ekstatis, contohnya gereja-gereja, kongregasi-kongregasi, orde-orde keagamaan, persaudaraan magis, sekte-sekte, dan lain-lain. (6) Kelompok-kelompok persahabatan atau kelompok teman semeja, pemuja-pemuja dan penganut-penganut seorang pemimpin dan lainnya.
Kelompok-kelompok yang terpecah dan kelompok-kelompok yang bersatu. Persaudaraan oleh pertalian darah (kinship), kegiatan-kegiatan ekonomi-ekonomi mistis ekstatis diantara mereka sendiri dibagi berdasarkan perilaku mereka dalam kelompok-kelompok terpecah dan bersatu. Kelompok-kelompok bersatu selalu mempunyai perilaku berdamai, contohnya suku/marga, keluarga berdasarkan perkawinan, keluarga kerabat, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, industri-industri, kelompok filantropis, kesarjanaan, gereja-gereja, dan kelompok yang bersatu lainnya. Kelompok belum dewasa yang merupakan lawan kelompok-kelompok orang bau tanah merupakan kelompok yang terpecah. Misalnya juga serikat buruh, organisasi pengusaha, perkumpulan produsen dan konsumen, partai politik, kelompok magis-ekstatis, sekte-sekte keagamaan termasuk dalam kelompok terpecah.
Kelompok-kelompok yang Tidak Terorganisasi dan yang Terorganisasi. Kebanyakan kelompok, juga yang bersifat sementara, pada kenyataannya memiliki kemampuan untuk berorganisasi. Pada hakikatnya, kemampuannya itu yaitu berkaitan dengan lebih berpengaruhnya bentuk kemasyarakatan aktif dibandingkan bentuk kemasyarakatan pasif, lantaran yang tersebut terakhir ini tidak sanggup berubah menjadi dalam superstruktur yang terorganisasi. Lazimnya, bentuk kemasyarakatan, alasannya setiap kelompon bersifat melaksanakandan memelihara kesatuannya lantaran perbuatan diharapkan untuk membentuk kelomopok. Kita hanya sanggup mengemukakan suatu kekecualian: dalam kelompok-kelompok persahabatan dan pemujaan (adoration), bentuk kemasyarakatan yang pasif biasanyan merupakan sifatnya yang terutama dan lazimnya pun mencegah pengorganisasian. Pada kenyataannya bahwa kebanyakan kelompok sanggup berorganisasi sama sekali tidak berarti bahwa organisasi disusun dengan sebaik-baiknya. Banyak kelompok yang tetap tidak terorganisasi, meskipun bisa berbuat demikian (misalnya kelas-kelas masyarakat, jabatan-jabatan, industry-industri, kelompok-kelompok acara ekonomi, masyarakat ekonomi dalam keadaan-keadaan yang tertentu). Kemungkinan untuk berorganisasi bergantung kepada situasi dalam masyarakat menyeluruh yang di dalamnya kelompok-kelompok itu diintegrasikan.
Kelompok dengan Paksaan yang Bersyarat dan Tidak Bersyarat. Jikalau jaminan yang mengelilingi semua aturan yaitu suatu fakta kemasyarakatan yang bersifat spontan, jikalau derajat kekerasan dan kelunakan paksaan (termasuk kekerabatan antara paksaan represif dan restitutif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Durkheim) ditentukan oleh rintangan-rintangan atau dorongan-dorongan untuk mewujudkannya yang diorganisasi oleh bentuk kemasyarakatan yang spontan, maka kontras antara paksaan yang bersyarat dan paksaan yang tidak bersyarat timbul dari kesatuan kelompok itu sendiri. Itulah sebabnya, maka perbedaan antara paksaan yang bersyarat dan yang tidak bersyarat duhubungkan dengan perbedaan antara aneka macam tipe-tipe kelompok dan sanggup memperlihatkan suatu kriteria bagi klasifikasinya.
Pada hakikatnya, paksaan-paksaan yang bersyarat mempunyai bentuk serba keras dan represif (misalnya aturan siksa dan penjara oleh gilda-gilda dan universitas-universitas pada periode pertengahan; boikot dan pemecatan oleh serikat-serikat buruh modern; perang penghukuman, sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Dasar Liga Bangsa-Bangsa). Sebaliknya, paksaan-paksaan yang tidak bersyarat bersifat lunak dan bersifat restitutif (mengganti kerugian) contohnya denda-denda ringan, kewajiban membayar lantaran mengakibatkan kerusakan-kerusakan dalam aturan sipil, namun yang demikian itu tidak sanggup mengabaikan kenyataan, bahwa secara hukumnya atau secara sahnya tidak mungkin melolokan diri daripadanya, lantaran paksaan-paksaan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak sanggup ditinggalkan oleh anggota-anggotanya sesuka hatinya.
Kelompok-kelompok unitaristis, federalistis, dan konfederalistis. Tiap-tiap kelompok, lantaran merupakan suatu sintesa dan keseimbangan, dan sedkit banyaknya telah mencapai persatuan, maka diperlukanlah suatu penjabaran kelompok-kelompok berdasarkan luasnya persatuan mereka itu. Tetapi ini hanya mungkin berkenaan dengan kelompok-kelompok yang terorganisasi, lantaran hanya disitulah derajat persatuan itu memperlihatkan dirinya dengan cara yang mungkin sanggup dipahami dalam pola-pola yang dicerminkan dan ditentukan terlebih dahulu, berdasarkan kompetensi-kompetensi dari organisasi digabung dan ditetapkan hierarkinya. Kelompok yang terorganisasi yaitu unitaristis, apabila organisasinya merupakan suatu sintesa eksklusif dari bentuk-bentuk kemasyarakatan, atau apabila sub-sub organisasi yang terdapat di dalamnya memainkan peranan kecil lantaran organisasi pusat menguasai mereka (misalnya segala macam desentralisasi). Kelompok federalistis, apabila organisasinya merupakan satu sintesa dari sub-sub organisasi, yakni satu sintesa yang sedemikian rupa sehingga kelompok pusat dan sub-sub kelompok senilai dalam membentuk persatuan. Sedangkan kelompok yang konfederalistis, apabila organisasinya yaitu satu sintesa sub-sub organisasi yang demikian tersusun sehingga sub-sub organisasi berkuasa atas kelompok pusat.
Sebagian terbesar dari kriteria yang menjadi dasar penjabaran kelompok-kelompok ini saling bersilangan, sehingga timbul sedemikian banyak tipe. selain itu, kita harus memperhatikan kenyataan bahwa tipe-tipe yang kita ciptakan itu sangat luas dan sering memerlukan pembagian lagi berupa subtipe-subtipe (kelompok-kelompok memecah ibarat sekte, jabatan, golongan sosial, partai politik secara sosiologis sangat berbeda satu sama lain, yang masing-masing memerlukan studi tersendiri) dan bahwa tipe-tipeitu berbeda satu sama lain sebagai fungsi-fungsi dari situasi-situasi dalam masyarakat yang menyeluruh. Dengan demikian haruslah ditarik kesimpulan bahwa hanya penyelidikan-penyelidikan “Sosiografis” yang luas dan secara empiris melukiskan jumlah dan corak ragam kelompok-kelompok khusus yang tidak terhingga banyaknya, dalam suatu masyarkat yang menyeluruh pada suatu masa kesejarahan (catatan penerjemah: masa yang berkaitan dengan sejarah) yang tertentu, sanggup member citra yang lengkap dan jelas. Setiap penjabaran umum dari tipe-tipe kelompok tidak sanggup menjadi lain daripada tetap skematis dan abstrak, lantaran sesungguhnya ia hanya merupakan suatu acara penyelidikan sosiografis yang konkret, sedang penjabaran hanya merupakan satu titik penyangga bagi penyelidikan-penyelidikan itu. Tetapi, justru ini membenarkan dan menegaskan keuntungannya menelaah tipe-tipe kelompok yang khususnya terbukti kalau diterapkan kepada masalah-masalah sosiologi aturan diferensial yang menelaah kerangka-kerangka aturan atau tata tertib aturan yang sesuai untuk tipe itu masing-masing.
b. Diferensiasi Kerangka-Kerangka Hukum Sebagai Tipe Kelompok
Setiap kelompok yang didalamnya bentuk kemasyarakatan aktif memegang peranan terpenting dan yang mewujudkan suatu nilai yang positif (seperti setiap bentuk kemasyarakatan yang memenuhi syarat-syarat ini, sedang kelompok yang bersangkutan merupakan sintesa yang mempersatukan) menyatakan dirinya sebagai “fakta normatif” yang melahirkan peraturan hukumnya sendiri. Fakta normatif kelompok yaitu sumber bukan dari jenis-jenis hukum, melainkan dari keseimbangan tertentu di dalam kerangka hukum, suatu tata tertib aturan dari jenis-jenis hukum, dalam kebanyakan hal sanggup dianggap yang terutama sekali sebagai suatu sintesa aneka macam jenis aturan sosial. Ini disebabkan oleh dua hal: pertama, lantaran aturan antar individu biasanya dilahirkan dari kekerabatan lahiriah antara kelompok-kelompok (hukum antar kelompok, sebagaimana aturan antar individu, sanggup berupa aturan rapprochement, aturan pemisahan, atau adonan dari keduanya), atau antara individu-individu yang termasuk dalam aneka macam kelompok. Kedua, lantaran pengaturan oleh aturan antar individu dalam kehidupan aturan yang telah jauh perkembangannya akhirnya dipusatkan di sekitar dua kerangka yang tertentu, yakni peraturan yang bersesuaian dengan kelompok negara politik kedaerahan (the politico-territorial state) (khususnya bagi aturan individual yang terorganisasi) dan peraturan yang bersesuaian dengan masyarakat ekonomi (khususnya bagi aturan individual yang spontan).
Kemampuan masing-masing dari aneka macam kelompok untuk melahirkan Kerangka-Kerangka HukumTidaklah semua kelompok yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan menerima laba yang sama oleh struktur mereka bagi penyusunan kerangka-kerangka hukum. Pertama, kelompok-kelompok sementara waktu (transitory groups) tidak mempunyai stabilitas yang diharapkan untuk ini.orang banyak (crowds), rapat-rapat, komplotan-komplotan dan lain-lain. Lebih merupakan suatu kekacauan jenis-jenis aturan daripada suatu tata tertib aturan ketimbang menyeimbangkannya. Kedua, kelompok-kelompok yang selamanya tidak terorganisasi hanya dengan susah payah membangun kerangka-kerangka hukum, terkecuali kelompok-kelompok yang berlangsungnya untuk kurun waktu yang lama, ibarat bangsa, masyarakat internasional, masyarakat hemat yang impulsif (catatan penerjemah, impulsif dalam buku ini yaitu yang tercipta sendirinya), industry-industri dan lain sebagainya.
Rangka Hukum Politik, Ekonomi, dan Mistis-ekstatis. Sungguh penting untuk membedakan kelompok-kelompok berdasarkan fungsi,menurut kadar persatuannya, dan akhirnya berdasarkan tujuannya. Yang khusus menggoda dilihat dari segi pertama ialah diferensiasi kerangka-kerangka aturan dalam kerangka-kerangka berdasarkan kelompok-kelompok, kelompok acara ekonomi dan kelompok mistik-ekstatis. Kerangka-kerangka aturan yang dilahirkan kelompok-kelompok local selalu ditandai oleh sifat ketidak-daerahan (extra-teritoriality). Maka alhasil ialah bahwa yang tersebut pertama lebih cenderung kepada kelakuan, sedang yang tersebut terakhir cenderung kepada kekenyalan (elasticity), keluwesan (flexibility) dan mobilitasnya. Hal ini terlihat terang dalam kenyataan bahwa lingkungan subjek permasalahan yang diperundangkan dalam peraturan aturan territorial sanggup lebih dahulu dilihat dan ditetapkan sebelumnya, sedang kerang-kerangka aturan yang bersesuaian dengan kelompok-kelompok ekonomisnya khususnya sering secara tidak terduga-duga muncul di atas subyek-subyek yang tidak ditentukan (misalnya perjanjian kolektif, pengaturan industri).
Kerangka Hukum Persatuan, Federal, dan Konfederasi. Sintesa jenis aturan tidak sama caranya dalam kerangka-kerangka aturan persatuan, federal, dan konfederasi, dan masing-masing mempunyai corak-corak atau pola-pola khas sesuai dengan tipe-tipe kelompoknya. Demikianlah aturan komunion dan aturan massa memainkan peranan hanya dalam kerangka aturan persatuan, sedang dalam kerangka aturan federal dan konfederasi, aturan perkauman dengan sendirinya memegang peranan terpenting. Tetapi jawaban yang menguntungkan terhadap efisiensi aturan dilenyapkan kembali oleh kenyataan bahwa kerangka-kerangka aturan federal dan konfederasi khususnya kembali bersifat “formalistis”, yang hanya sanggup dikenal melalui prosedur-prosedur yang ditentukan sebelumnya dan tidak memungkinkan bagi aturan yang luwes dan aturan intuitif. Selain itu, tipe-tipe tata tertib aturan ini berdiri di atas lapisan yang lebih tinggi daripada kerangka-kerangka persatuan (unitary frameworks), yang memungkinkan serentak semua metode pengenal, yang demikian menerima intensitas sebagai pengganti dari ketelitian yang tidak mereka peroleh.
Kerangka Hukum yang Terpecah-belah dan Menyatukan. Kerangka-kerangka aturan yang bersesuaian dengan kelompok-kelompok yang terpecah-belah dan yang bersatu berbeda dalam kadar kefektifannya, yang ada hubungannya dengan keragaman aspek yang tidak sama dai sintesa jenis-jenis aturan yang dihasilkannya. Pada hakikatnya, tata tertib aturan suatu sekte, golongan sosial, jabatan, kelompok-kelompok produsen dan lain-lain, merupakan suatu keseimbangan yang sekaligus lebih disederhanakan dan lebih hebat daya kemampuannya daripada kerangka-kerangka aturan suatu gereja, kelompok niaga, industry, masyarakat hemat yang menyeluruh dan lain-lain. Dibandingkan dengan ketentuan aturan dari suatu kelompok yang menyatakan, maka “hukum golongan, aturan proletar, aturan borjuis, aturan golongan tengah dan lain-lain, dipandang dari segi ini, yaitu sangat karakteristik. Dalam perjuangan, kontradiksi “hukum proletar dan aturan borjuis”, kita tidak saja menjumpai suatu sengketa antara dua golongan itu masing-masing, tetapi juga suatu sengketa di antara pandangan-pandangan yang berbeda mengenai nilai-nilai aturan antara aspek-aspek keadilan. Itulah sebabnya maka keyakinan kolektif demikian kuatnya, sintesa yang mempersatukan yang semakin menyederhanakan dan semakin mengefektifkan kerangka-kerangka aturan ini.
Kerangka Hukum Nasional dan Internasional. Sampai kini kita telah menganalisis hanya tipologi aturan dari sebagian kelompok-kelompok. Jelas bahwa kelompok-kelompok yang menyeluruh juga melahirkan tata tertub hukumnya yang khusus. Di sini kita harus memandang kerangka aturan dari bangsa serta masyarakat internasional, lantaran umat insan yang (ditengah-tengahnya bentuk-bentuk pasif dari kemasyarakatan memegang peranan terpenting) ternyata steriil dilihat dari sudut hukum. Tata tertib aturan nasional dan internasional mempunyai beberapa persamaan, dalam arti tata tertib itu mempunyai corak yang khas lantaran sifatnya yang supra fungsional. Ini terutama sekali berarti, bahwa tidak ada yang sanggup menyatakan diri terkecuali dalam banyak ragam kerangka aturan fungsional (segi-segi nasional dan internasional); misalnya, hukum, politik, aturan ekonomi, aturan kegerejaan, dan lain-lain. Ini selanjutnya berarti, bahwa kerangka-kerangka aturan bangsa dan masyarakat internasional, demi strukturnya, tetap berbentuk spontan, menjalankan sintesanya yang bersifat mempersatukan di lapangan aturan tidak terorganisasi, hanya dengan menggunakan kerangka-kerangka aturan terorganisasi yang merdeka (misalnya, kerangka-kerangka aturan terorganisasi dari Liga Bangsa-Bangsa, Kantor Perburuhan Internasional, dan lain-lain). Akhirnya, tata tertib nasioanl dan internasioanl mempunyai kekuasaan aturan lebih tinggi daripada kerangka-kerangka dari sebagiannya yang diintegrasikan didalamnya (misalnya, tata tertib aturan bangsa lebih berkuasa daripada tata tertib aturan negara dan masyarakat ekonomi). Tata tertib ini mengatur hubungan-hubungan dan sengketa-sengketa di antara yang tersebut terakhir, yakni memutuskan mengenai hierarki atau persamaan. aturan perkauman memainkan peranan utama dalam kerangka aturan nasional, sedang dalam kerangka aturan internasional dikuasai oleh aturan massa. Tata tertib aturan nasional dan internasional mempunyai beberapa persamaan dalam arti mempunyai corak yang khas lantaran sifatnya yang suprafungsional.
c. “Kedaulatan” dan Hubungan-Hubungan Antara Berbagai Tata Tertib Hukum dan Tata Tertib Hukum Negara
Jika dipandang dari aspek sosiologisnya saja, orang harus menafsirkan asas kedaulatan sebagai preponderansi persatuan atas keragaman, kecenderungan sentripental atas kecenderungan sentrifugal, dalam setiap satuan atau kelompok kolektif yang nyata, maka kita harus mengakui pula, bahwa setiap kelompok mempunyai kedaulatan atas bentuk-bentuk kemasyarakatan yang merupakan unsur-unsurnya. Pada hakikatnya, kelompok sebagai kenyataan tidak sanggup hidup tanpa menyatakan dirinya sebagai keseluruhan, yang tidak sanggup direduksikan lagi menjadi unsur-unsur yang merupakan bagian-bagiannya, yang akan dipersatukannya dan keterpaduannya harus lebih berkuasa. Demikian pula, kita harus mengakui dalam arti ini bahwa semua kelompok-kelompok yang bersifat sebagian, yang diintegrasikan didalamnya. Ini akan mengakibatkan keluar pernyataan, bahwa setiap kerangka aturan yaitu berdaulatterhadap segala jenis aturan yang disintesakan didalamnya, bahwa tata tertib aturan multifungsional berdaulat terhadap tata tertib aturan unifungsional (dari bangsa serta masyarakat internasional) yaitu berdaulat terhadap yang lain-lainnya (misalnya terhadap tata tertib aturan negara, masyarakat ekonomi, dan lain-lain).
Kedaulatan sebagai suatu kualitas tertentu dari kekuasaan, hanya muncul apabila kita dari skala mikrososiologi beralih kepada skala makrososiologi. Kedaulatan kelompok-kelompok berbeda-beda kadarnya, lantaran seluruh kedaulatan, kecuali kedaulatan masyarakat-masyarakat menyeluruh, tidak sanggup melebihi kedaulatan yang relative belaka. Karena itu, kelompok-kelompok suprafungsional, ibarat contohnya bangsa dan masyarakat internasional sajalah yang sanggup mempunyai kedaulatan mutlak.
Kekuasaan sosial dari kelompok yang berdaulat secara relative atau mutlak hanyalah sebagai suatu fungsi dari kerangka aturan kelompok, lebih tepat lagi: dari tata tertib aturan sosialnya; sehingga kekuasaan tersebut berdasarkan aturan dan tidak berdasarkan kepercayaan-kepercayaan mistik-keagamaan. Orang sanggup pula menyampaikan bahwa kedaulatan sesuatu kekuasaan sosial biasanya yaitu suatu kedaulatan aturan yakni kedaulatan dari suatu kerangka terhadap jenis-jenis aturan sosial yang diseimbangkannya atau kedaulatan dari satu tata tertib aturan atas tata tertib- tata tertib aturan lainnya. Maka analisis sosiologis berkesimpulan bahwa dilema asasi dari kedaulatan ialah dilema kedaulatan hukum, dan kedaulatan aturan ini, kalau dilihat dari arti superlatifnya, selalu dimiliki hanya oleh kelompok-kelompok yang menyeluruh dan suprafungsional. Maka asas kedaulatan itu hanyalah membenarkan kesimpulan kita perihal ketidakmungkinan menyelenggarakan hierarki yang ditetapkan lebih dahulu antara kerangka aturan politik dan aturan ekonomi. Hubungan-hubungannya yang pada hakikatnya sanggup berubah-uabah, diatur dengan tepatnya oleh tata tertib aturan yang berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, dan tata tertib aturan ini sajalah mempunyai kedaulatan aturan yang mutlak; yang tersebut terakhir ini sajalah pada saat-saat tertentu sanggup menentukan kelebihutamaan atau persamaan di antara kerang-kerangka hukumnya fungsional dan bersifat sebagian (partial) yang terliput didalamnya.
Terdapat empat macam tipe aturan sosial berdasarkan lingkup tipologi aturan kelompok-kelompok yang tersebut di atas yakni:
Kerangka-kerangka aturan sosial murni dan independen, kalau ada sengketa, lebih tinggi atau sederajat dengan tata tertib aturan negara contohnya aturan nasional suprafungsional, aturan internasional, aturan gereja Roma Nasrani (hukum gereja dan aturan kanun) dan dari gereja-gereja lainnya kalau negara dan gereja dipisahkan, dan akhirnya aturan ekonomi dalam keadaan ekonomi disusun secara otonom yang mengubahnya dari aturan khusus (particularistic law) menjadi aturan adat.
Kerangka-kerangka aturan sosial murni yang dibawahkan per-walian Negara, yakni mempunyai hak yang memaksa tanpa syarat dan bersifat otonom; tetapi kalau ada sengketa, tunduk dan mengalah kepada tata tertib aturan negara. Lahirnya hal ini dinyatakan oleh pemindahan kerangka-kerangka demikian ke dalam lapangan “hukum privat”, lantaran perbedaan antara aturan publik dan aturan privat, sebagaimana kita ketahui, bergantung kepada aneka macam keputusan negara. Demikianlah halnya kini dengan kerangka-kerangka aturan kelompok berdasarkan pertalian darah, kelompok-kelompok kegiatan yang tidak bertujuan memperoleh manfaat, dan bahkan sebagian terbesar kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, yang dibawah rezim yang ada menyatakan dirinya sebagai kelompok-kelompok khusus, tidak terhitung jumlahnya.
Kerangka-kerangka aturan sosial otonom uang dianeksasi oleh negara, yakni yang dibawahkan olehnya, baik dengan jalan inkorporasi didalamnya sebagai “jawatan-jawatan umum yang didesentralisasikan” maupun hanya dengan mengangkatnya ke dalam lapangan istimewa dari aturan publik. Apabila aneksasi demikian itu mengenai kelompok-kelompok kesempatan yang luasnya terbatas (kotapraja, majelis kota kerajaan, kabupaten dan lain-lain), yakni kerangka-kerangka aturan pemerintah kawasan atau aturan organisasi-organisasi tuan tanah-tanah (misalnya pemilik-pemilik untuk menggunakan tepi sungai, pemilik-pemilik tambang, dan lain-lain), maka aneksasi-aneksasi itu yaitu yang paling kentara, meskipun ada kenyataan bahwa negara yaitu suatu blok kelompok-kelompok lokal.
Kerangka-kerangka aturan sosial yang ditempa dalam kerangka aturan negara demokratis, yang karakteristiknya telah kita ketahui.
Adalah terang bahwa setiap kerangka aturan ini, sebagaimana halnya dengan semua kerangka yang terang berupa fungsi-fungsi dari tipe-tipe kelompok, merupakan suatu keseimbangan yang tidak menetap dari aneka macam jenis hukum, khususnya dari aturan massa, perkauman, dan communion. Adalah tidak kurang jelasnya, bahwa bergantung kepada keadaan-keadaan historis yang konkret dan perubahan dalam kerangka-kerangka aturan yang berdaulat dari bangsa dan masyarakat internasional, kerangka-kerangka aturan yang ada dibawah perwalian atau aneksasi oleh negara terkadang bergerak ke arah suatu tata tertib aturan sosial yang murni dan independen, dan terkadang terbalik ke arah tata tertib aturan negara.gerakan kerangka-kerangka aturan yang bersifat sebagai mediator inilah yang terkadang menjelmakan kelebihutamaan negar, terkadang kelebihutamaan masyarakat ekonomis, atau akhirnya persamaan aturan dari aneka macam kelompok ini.
Tipologi Hukum Masyarakat-Masyarakat yang Menyeluruh
Keanekargaman yang tidak terhitung jumlahnya, segi dan isi setiap masyarakat yang menyeluruh – setiap penjelmaan “fenomena sosial total (total social phenomena) tidak memungkinkan penentuan dalam tipe-tipe sosiologis, kecuali jikalau beberapa acara sosial diambil sebagai tempat bersandar. Demikianlah, penjabaran tipe-tipe masyarakat menyeluruh akan membawa hasil yang sangat berlainan sesuai dengan cara memandangnya, apakah dari segi ekonomi, agama, moral, hukum, atau fenomena lainnya. Banyak usaha dilakukan untuk mengadakan penjabaran dan suatu diskusi yang panjang lebar dan mendalam perihal hal ini, yang dilakukan oleh S.R. Steinmetz sanggup ditemukan dalam L’Annee Socielogique (1900), jilid III. Haruslah pula ditambahkan analisis-analisis doktrin-doktrin tentang “zaman-zaman peradaban” (eras of civilization) yang dikembangkan oleh Grabner, Schmidt dan Kopper, dan perihal “morpologi kebudayaan” dari Grobenius dan Spengler, yang dikecam oleh Mauss secara singkat tetapi mendalam dalam catatannya. “perihal peradaban-peradaban” (On Civilization), dalam Prem. Sem. Internationale de Synthese (1930). Jika segala usaha ini tidak sanggup mendatangkan hasil-hasil yang memuaskan, terutama sekali ini yaitu disebabkan (disamping imbas prasangka evolusionisme) oleh usaha secara monisme untuk menyelenggarakan suatu tipologi yang khas yang berwenang untuk menelaah sekaligus segala aspek kenyataan sosial.
Kita akan memutuskan tujuh macam tipe masyarakat yang menyeluruh dari segi pandangan reaksi-reaksi terhadap sistem-sistem hukum. Weber dari segi tinjauan ini membedakan antara kekuasaan-kekuasaan karismatis, tradisionla (istimewa patrimonial), dan rasional; ia bukan saja mengadakan pembedaan antara sistem-sistem aturan yang sama sekali yang diserap oleh sistem supernatural (magis atau religious), sistem yang setidak-tidaknya rasional (baik mengenai prosedurnya, yakni “rasionalisasi formal”, mau pun mengenai isinya, yakni “rasionalisasi materil” (Zweckrationalisation), yang acapkali berkaitan erat dengan absolutism patrimonial atau sisa-sisa dari dari konsepsi teologis), tetapi juga akhirnya oleh pemberian kecerdikan formal yang imanen pada hukum. Weber juga memperlihatkan bahwa aturan mempunyai aneka macam watak, bergantung kepada hal apakah ia dirumuskan atau dipraktekkan oleh nabi-nabi dan ulama, oleh hakim-hakim (yang mungkin dibuat oleh praktek di pengadilan atau dalam mazhab-mazhab teologis), oleh pemilik kekuasaan patrimonial, atau akhirnya oleh suatu birokrasi ahli-ahli aturan yang terlatih dalam mazhab-mazhab khusus.
Setelah mempertimbangkan segala hal, maka kita mendapatkan tipe-tipe masyarakat menyeluruh sebagai berikut: (1) Sistem masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar magis-keagamaan, (2) Sistem aturan dari masyarakat yang menerima kesejenisan (homogeneity) oleh asas karismatisme teokratis, (3) Sistem aturan dari masyarakat yang menerima kesejenisannya oleh penekanan kelompok dosmetik-politik sistem yang sedikit-banyaknya dirasionalkan, (4) Sistem-sistem aturan dari masyarakat feodal berdasarkan penekanan yuridis gereja sistem yang setengah gaib dan setengah dirasionalkan, (5) Sistem aturan dari masyarakat yang dipersatukan oleh penekanan kota dan kekaisaran sistem yang lebih dirasionalkan, (6) Sistem aturan dari masyarakat yang dipersatukan oleh penekanan negara teritorial dan otonomi kehendak individual, (7) Sistem-sistem aturan dari masyarakat-masyarakat sampaumur ini yang didalamnya kelompok-kelompok acara ekonomi dan negara teritorial berjuang untuk mendapatkan suatu keseimbangan aturan baru-sistem yang bersifat sementara.
Sistem aturan masyarakat banyak bidang yang mempunyai dasar Magis-Keagamaan, masyarakat arkais yang menyeluruh yaitu suku bangsa (phratry, curia) yang terbentuk oleh repetisi golongan-golongan yang serum pun yang dinamakan klan (genos, gentes). Klan serta suku bangsa (tribes) mempunyai dasar keagamaan; lambang-lambangnya (emblems) yaitu totem dari dewa-dewa mereka, yang didalamnya mereka terikat menjadi saru secara mistik. Kelompok-kelompok yang berdasarkan pertalian darah di sini tidak berebda dengan kelompok mistik-ekstatis, lantaran pertalian darah dan esogami yang timbul dari padanya dalam hal ini pada prinsipnya berkaitan dengan totem yang sama. Kelompok lokal tidak diberi batas yang jelas, klan tidak selalu merupakan suatu “masyarakat desa”. Kelompok keagamaan di sini menyerapi kelompok-kelompok lokal (locality groups), sebagaimana yang dilakukannya terhadap kelompok-kelompok kegiatan ekonomi, setidak-tidaknya sedemikian rupa hingga tersebut terakhir ini mempunyai sifat domestik. Dalam keadaan yang sedemikian itu, akan sukarlah melawan kecenderungan untuk mereduksikan segala ketentuan aturan menjadi suatu kerangka tunggal aturan sosial dari klan dan suku yang mempunyai asas keagamaan berdasarkan tabu-tabu yang berasal dari yang keramat dan menyisihkan setiap tipe aturan antar individu, segala keluwesan, segala sifat bisa berbeda, kesangkupan bergerak, bahkan semua aturan yang bersifat khusus.
Sistem Hukum dari Masyarakat yang disejeniskan oleh Asas Teokratis-Karismatis. Masyarakat-masyarakat yang menyeluruh sanggup mempersatukan dirinya dengan melenyapkan pembidangan (segmentation) menjadi klan-klan dengan aneka macam cara dan jalan. (1) cara pertama ialah dengan memaksakan suatu persatuan gres kepada bidang-bidang yang identik dan kombinasi kesukuannya, dan persatuan gres itu ialah negara-gereja yang berubah menjadi di dalam seorang Tuhan yang hidup berupa Raja-Pendeta, yang didalamnya tersimpul suatu kombinasi khusus dari agama dan magi dan yang menimbulkan terjelmanya kekuasaan teokratis-karismatis; kepala negara, yang mewakili Tuhan yang bertindak atas nama-Nya, yang mempunyai cukup sifat-sifat yang diharapkan untuk fungsinya berdasarkan sifat-sifatnya sendiri, pada umumnya bersifat magis (charisma). (2) cara bersatu yang kedua ialah melalui penyerapan dari bidang-bidang yang telah dileburkan ke dalam kelompok keluarga besar, yang merupakan suatu identitas dari kelompok berdasarkan pertalian darah (sekarang ini berdasarkan darah, khususnya keturunan pihak laki-laki) dengan kelompok kegiatan ekonomi, seringkali sama dihubungkan dengan kelompok lokal dan ketetanggaan. Masyarakat yang menyeluruh dibimbing ke arah kesejenisan oleh berkuasanya kelompok politik dan keluarga besar terhadap kelompok lainnya, yang sanggup mengakibatkan timbulnya suatu negara patriakal. (3) akhirnya cara ketiga ialah pelenyapan bidang-bidang oleh apa yang dinamakan “synoecisme”: suatu kekerabatan serta interpenetrasi bidang-bidang yang untuk sebagiannya menjadi kelompok-kelompok keluarga besar, dalam suatu “kota” atau “polis” dengan dasar kedaerahan, yang mendapatkan kedudukan utama. Menurut sejarahnya, ketiga tipe ini sanggup dijalin satu sama lain juga digabungkan ke dalam aneka macam bentuk.
Sistem aturan dari masyarakat yang memperoleh kesejenisan oleh kedudukan utama dari kelompok keluarga besar dan politik – sistem yang sedikit banyaknya dirasionalisasikan. Kelompok berdasarkan pertalian darah dan berdasarkan keturuna laki-laki, yang meliputi pula kegiatan ekonomi dan sedikit banyaknya terpaut kepada tanah, sanggup memperoleh kedudukan utama dalam masyarakat menyeluruh terhadap klan-klan, suku-suku, serikat-serikat dan lain-lain. Kelompok keluarga besar dengan demikian menjadi benih negara dan sanggup dilukiskan sebagai kelompok keluarga besar dan politik (domestic politic), terkadang berperan sebagai pola bagi suatu negara patriakal yang sebenarnya. Struktur sosial yang dilukiskan dalam Wasiat Lama, dalam Liad dan Ordyssey dan juga Zadruga dari Salvia yaitu aneka macam pola perihal kedudukan utama dari kelompok domestik politik (keluarga besar dan politik) dalam bentuk patriarkal. Beberapa ciri dari tipe ini sanggup pula dipelajari dalam “keluarga Romawi”, yang terintegrasi dalam jenis-jenis yang sangat berbeda-beda dari masyarakat yang menyeluruh, dan akhirnya juga dalam latifundiayang didiami oleh coloni dari Imperium Romawi (zaman yang kemudian). Hausgenossenschaften Jerman, yang muncul melalui Marks (klan-klan yang menjadi “masyarakat-masyarakat desa” yang setiap tahunnya membagi-bagikan persil-persil tanah kolektif di antara keluarga-keluarga), Gau (county atau kabupaten) danSippenschaft (suku), menyarankan adanya kelompok-kelompok domestik-politik tanpa corak patriarkal yang sebenarnya. Sesuai dengan kedudukan utama kelompok politik itu yang bertalian dengan milik tanah perseorangan maka kepala itu sanggup manjadi raja dari suatu negara patriakal dan latifunda Romawi merupakan salah satu gambarannya. Selalu contoh-contoh dalam sejarh orang sanggup menyebut kerajaan (monarchy) Frankish (abad ke-6 hingga periode ke-19), juga kerejaan Rusia dalam zaman Moskwa, dan akhirnya pelaksanaan secara patriarkal dari teokrasi-teokrasi Mesir, Tiongkok, dan Islam.
Sisten aturan yang bersesuaian dengan kedudukan utama dari kelompok domestik politik dalam suatu masyarakat yang menyeluruh mempunyai ciri-ciri sebagai beriktu: (A) disuborsinasikan aturan sosial di lapangan politik oleh hak individual dari kepala sebagai pemilik tanah, (B) ada pencampuradukan antara legislasi dan manajemen pada suatu pihak, dan pengurusan ekonomi pada lain pihak, (C) cuilan terpenting dari kehidupan aturan tetap bebas dari campur tangan negara patriakal, lantaran dipusatkan ke dalam kebiasaan rakyat, dikodifikasi atau tidak, dan aturan terutama sekali dilaksanakan oleh pengadilan-pengadilan rakyat (mallus dalam zaman Frankish), yang anggotanya terdiri dari orang-orang bau tanah saja, (D) kelompok domestik politik yang merupakan kelompok yang terbatas dan tetap mantap (stable), pada umumnya mewujudkan dirinya di dalam pergaulan hidup sebagai masyarakat dan bukannya sebagai massa atau communion, (E) munculnya pula unsur masyarakat – sungguh pun terbatas – mengenai kehidupan aturan terjadi bersama-sama dengan susutnya imbas kepercayaan-kepercayaan keagamaan dan kegaiban (religious and magical) dalam hukum.
Sistem Hukum dari masyarakat Feodal dengan dasar yang bersifat Semi-Rasional, Semi-Mistik. Tipe feudal masyarakat yaitu suatu keseimbangan yang sangat kompleks antara aneka macam tipe kelompok-kelompok dan kerangka-kerangka hukumnya yang bersesuaian, suatu keseimbangan yang asas-asasnya tidak sanggup direduksikan menjadi suatu asas yang tunggal. Pada satu pihak, yaitu kedudukan utama kelompok dari blok atau federasi kelompok-kelompok patriarkal yang tersusun dengan hierarki, yang dibangun atas kombinasi dari hak istimewa (privilege) dan dedikasi kepada seorang raja feudal (vaasalage), yang melahirkan serangkaian “kekayaan feudal” (fiefs). Dilain pihak, yaitu kedudukan utama dari suatu kelompok gaib ekstatis yang dibawah imbas Kristen, telah menerima bentuk suatu gereja yang sangat berlainan dari kelompok-kelompok lainnya dan yang pada abad-abad pertengahan menjelmakan persatuan suprafungsional di bawah segi yang berupa sorpus mysticum. Kedua blok ini membagi kedudukan istimewanya.
Sistem Hukum Masyarakat yang dipersatukan oleh kelebihutamaan kota dan imperium-sistem yang sifatnya lebih rasional. Unifikasi tata tertib aturan dari masyarakat yang menyeluruh sanggup terjadi melalui supremasi suatu kelompok territorial yang khas, kota, kota kecil, yang melambangkan asas kedaerahan dan ketetanggan-ketetanggan yang mula-mula membatasi dan lambat laun membubarkan kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah dan kepercayaan-kepercayaan agama (geno, gente, jaria fratri dan lain-lain;) demikianlah maka terjadi kekerabatan eksklusif antara kekuasaan pusat dan patres familias (singuli singulas familias incipient habere dan kemudian dengan setiap warga negara perseorangan. Unifikasi semacam ini sangat terang pada polis Yunani (abad-abad ke-7 hingga ke-5 sebelum Masehi) dan civitas Romawi (abad ke-5 hingga periode pertama sebelum Masehi). Penegasan kedudukan utama kota di atas semua kelompok lainnya ditandai oleh ciri-ciri khas sebagai berikut: pendemokrasian dan penduniawian hukum, diferensiasi aturan dari agama dan tata susila, perbedaan antara aturan publik dan aturan privat dan akhirnya individualism hukum. Pendemokrasian tampil bersama dengan penguatan dari asas territorial. Pemasukan kelas murba(plebeian) ke dalam kehidupan kota, persamaan dihadapan hukum, pada mulanya, dan kemudian dengan hak-hak yang sama (perubahan oleh Solon, Cleisthenes dan Pericles di Yunani; aturan dari “Luh Duabelas” (The twelve Tables), perubahan-perubahan yang berdasarkan dugaan dilakukan oleh Servius tullius, serangkaian aturan yang memuncak pada lex Hortensia di Roma) telah diiringi oleh penggantian keompok-kelompok berdasarkan kelahiran dan baptisan gaib (dengan melalui lapisan-lapisan kelas yang berhak menentukan berdasarkan kekayaan) dengan kelompok-kelompok gres berdasarkan kediaman. Peranan comitia tributtayang berangsur-angsur menggantikan commetia curiatta yaitu khas bagi perkembangan ini.
Sistem Hukum yang diduniawikan dan dilogikan untuk keseluruhan oleh kedudukan utama negara Teritorial dan otonomi Hasrat Individual (pengutamaan aturan negara dan kontrak). Tipe masyarakat menyeluruh yang sistem hukumnya yang sama sekali dirasionalisasikan bersandar atas kekuasaan tertinggi dari aturan negara territorial dan atas kebebasan perjanjian-perjanjian individual bersesuaian dengan rezim kapitalistik klasik yang menjadi corak khas dari kehidupan Barat semenjak periode ke -16 hingga selesai abadke-19. Sistem ini sedang dirombak dengan pesat di bawah ancient regime ketika negara territorial, dengan bentuk kerajaan absolute dengan dukungan golongan borjuis (golongan ketiga), telah mulai memperkuat kedaulatannya” yang tidak terpisah dan tidak sanggup diganggu gugat” terhadap feodalisme dan sistem gilda, dan keluar melawan Imoefrium Romawi Suci dan Sri Paus. “Satu raja, satu hukum” yaitu semboyan utama dari rezim ini yang cenderung ke arah pembubaran-pembubaran ”badan-badan perantaraan” yang ada diantara individu, dan juga kepada peneguhan persamaan seluruh warga negara dihadapkan hukum. Hanya satu aturan yang cukup umum sifatnya dan telah ditetapkan terlebih dahulu, yang penggunaannya sanggup dikalkulasikan sebelumnya, dan member kemerdekaan bergerak kepada hasrat individual (laisser faire, laisser passeri), yang sanggup memuaskan kebutuhan-kebutuhan borjuis yang sedang lahir serta perusahan-perusahaan industry dan perdagangannya yang besar. Pada zaman itulah aturan Romawi diterima seluruhnya di Jerman, tampilnya aneka macam gereja yang saling saing-menyaingi, berkat reformasi, menimbulkan gawatnya dilema pembatasan kekuasaan negara yang menguntungkan kebebasan individu.
Sistem Hukum Peralihan dari Masyarakat Kontemporay. Dalam sistem ini aneka macam jenis aturan sosial, baik murni maupun yang digabungkan ke dalam negara, mengadakan balas dendam. Karena kegiatan ekonomis, walau pun orang menyampingkan perkembangan serikat dagang, dipusatkan sebagai perusahaan-perusahaan – organisasi-organisasi besar dan berkuasa, yang didalamnya berlaku aturan ekonomi yang bersifat subordinasi yang menghindarkan diri dari kedaulatan rakyat dan tidak mempunyai kekerabatan dengan kontrak dank arena tidak mungkin ada persamaan hasrat-hasrat aturan antara yang perekonomiannya kuat dan yang perekonomiannya lemah, maka sistem “Pernyataan Hak-hak” dan Code Napoleon dengan cepat diperlemah oleh kekuatan-kekuatan yang membawa pengembangan. Sifat aturan dari sistem kedaulatan aturan negara dan kontrak, lantaran hanya mengakui aturan terorganisasi yang ditetapkan terlebih dahulu, mempercepat keruntuhannya dengan mengobarkan sengketa yang hebat dengan hukum-hukum spontanitas dan luwes yang dilahirkan oleh masyarakat ekonomi.
3. SOSIOLOGI HUKUM GENETIS
Sosiologi aturan genetis harus menolak prasangka evolusionistis yang menyakini bahwa “benih” dari suatu perkembangan searah yang tidak dicampuri dari forum aturan sanggup diketemukan dalam masyarakat primitif dan yang mengacaukan atau mencampuradukkan dilema tipologi aturan masyarakat dengan dilema mengenai asalnya. Dua dilema yang benar-benar menyangkut mengenai sosiologi aturan genetis adalah: (a) Penelaahan perihal regularitas sebagai tendensi-tendensi perubahan di dalam setiap tipe sistem hukum, dan (b) Penelaahan faktor-faktor regularitas dari perubahan sedemikian itu di dalam kehidupan aturan pada umumnya.
a. Sebagai Tendensi-Tendensi Perubahan
Regularitas di dalam perubahan yang sanggup dilaksanakan bagi kehidupan sosial hanya sanggup dikenakan ke lapangan makrososiologi disebabkan oleh adanya kekerabatan dengan struktur dan saling kait-mengkait antara kelompok-kelompok; keseluruhannya tidak sanggup dikenakan pada lapangan mikrososiologis. Dilain pihak, keteraturan-keteraturan ini bukanlah “hukum” evolusi yang bersifat statis maupun dinamis, lantaran sifatnya yang sangat tidak menetu yang menggambarkan kenyataan sosial dan kenyataan aturan (berhubungan dengan lambang-lambang dan nilai-nilai kolektif). Ketentuan-ketentuan di lapangan ini hanyalah merupakan “sesuatu yang bersifat kebetulan” (Weber) “probabilitas” berupa hal-hal yang tidak sanggup diramalkan terlebih dahulu. Itulah sebabnya maka kita menamakannya “keteraturan yang merupakan kecenderungan”. Akhirnya, sebagaimana kita katakana di atas, keteratuan-keteraturan berupa tendensi-tendensi itu sanggup ditetapkan hanya untuk satu tipe msyarakat yang menyeluruh.
Keteraturan bersifat umum dari perubahan lembaga-lembaga yang berdasarkan beberapa hebat sosiologi telah mengakuinya, sanggup dikembalikan kepada: gerak dari keunggulan undang-undang terhadap kontrak (Spencer dan H. Maine); ekspansi dan generalisasi lingkungan orang-orang yang terikat pada tata tertib aturan yang sama (Tarde); menggantikan yang progresif dari aturan restuitif untuk aturan represif dan perkembangan sejajar dari peranan negara dan kontrak (Durkheim); pengadaan (multiplication) dan perjalinan yang semakin intensif dari pengelompokan-pengelompokan khusus dan undang-undangnya, yang mengakibatkan upaya memperteguh hak-hak individu (yang tersebut terakhir ini memperoleh kebebasan lantaran usaha antara kelompok-kelompok dan mereka tidak saling batas-membatasi, ef. Bougle, Les idees egalitaries, 1899); rasionalisasi dan pelogisan (logication) aturan yang semakin meningkat (Weber). Sebenarnya segala keteraturan atau regularitas ini hanya berlaku bagi perubahan-perubahan aturan dalam tipe-tipe masyarakat tertentu, dan teristimewa masyarakat primitif. Masalah ini menjadi lebih rumit lagi lantaran pada kenyataannya, bahwa setiap masyarakat yang menyeluruh dan setiap sistem aturan yang bersesuaian dengan masyarakat yang demikian itu yaitu suatu mikrokosmos kerangka-kerangka aturan dan jenis-jenis hukum, sehingga gerak-gerik yang berlawanan sanggup terjadi di dalam satuu tipe yang sama, sebagaimana usaha yang kita lakukan untuk menetapkannya ketika mengkritik tesis Durkheim.
Keteraturan-keteraturan atau regularitas dari perubahan yang mungkin sanggup dilihat pada sistem patriarkal yaitu suatu tendensi ke arah pembentukan keluarga-keluarga atas dasar harta kekayaan (harta pusaka) lantaran dibagi-bagi antara ahli-ahli warisnya. Hal ini membawa kontradiksi antara aturan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok keluarga yang sebenarnya dan aturan dari kelompok domestik politik yang dalamnya unsur politik sebenarnya lebih kuat, sementara itu, unsur aktif tumbuh di dalam kelompok domestik politik, yang hukumnya, yang lantaran menjadi lebih berlaku secara efektif dan lebih diakui secara formal, mulai membatasi aturan kelompok-kelompok berdasarkan pertalian darah, yang dalamnya aturan intuitif dan aturan adat memegang peranan penting.
Sistem aturan yang berdasarkan yang mengutamakan negara territorial dan otonomi yang merupakan kehendak inidvidu mempunyai corak khas sebagai berikut: pertama, langkah-langkah maju secara progresif ke arah persamaan hak-hak, bermula dari persamaan dihadapan kekuasaan politik menuju kepada persamaan dihadapan hukum, kemudian persamaan hak-hak sipil dan akhirnya kepada hak-hak politik, termasuk di dalamnya akan kemerdekaan. Kedua, ada kecenderungan ke arah “hukum rasional yang mendahului perombakan-perombakan aturan positif (peranan yang bertambah besar dari “utopia” dalam hukum). Tendensi-tendensi lainnya yaitu berupa gerak ke arah mobilitas dan kenyataan sanggup dipindah-pindahkan semua hak perseorangan, yang khususnya diperlihatkan dalam semakin diutamakannya “hukum kepercayaan” atas hukumyang myata (E. Levy); kesukaran yang makin meningkat bagi aturan kepercayaan dan bagi aturan negara untuk menembus ke dalam kehidupan batin kelompok-kelompok ekonomi yang dikuasai oleh aturan otoritas di kawasan kekuasaan aturan yang resmi. Itulah sebabnya, maka ada suatu pendalaman yang berturut-turut dari ketidakseimbangan antara tata tertib aturan negara dan kerangka aturan masyarakat ekonomi.
Dalam sistem aturan sekarang, yang mengalami perliahan sebagaimana telah kita perlihatkan, ada tendensi-tendensi yang bertentangan ke arah demokrasi pluralistis dank e arah totaliterisma. Jelaslah, bahwa tidak ada keteraturan dalam gerak sanggup ditentukan sebelumnya. Keteraturan-keteraturan lainnya tidak sanggup disangkal lagi berjalan sejajar dengan dekandensi aturan undng-undang dari negara dan kontrak, suatu langkah kembali menuju ke arah pengkhususan peraturan-peraturan yang semakin sering dilakukan, yang berlaku bagi lingkungan-lingkungan terbatas dari pihak-pihak yang berkepentingan; memperkuat secara progresif dari kerangka aturan sosial atas kerugian yang dialami aturan individual; pertumbuhan peranan aturan ad hoc dan aturan intuitif atas kerugian aturan yang diakui sebelumnya, dari imbas kebiasaan, pertumbuhan di dalam aturan yang diakui sebelum adanya pernyataan-pernyataan sosial, praktek pengadilan dan praktek lainnya, persetujuan-persetujuan kolektif, dekrit, dan lain-lain, semuanya atas kerugian yang dialami perundang-undangan negara; usaha yang semakin sengit antara kerangka-kerangka aturan dari aneka macam golongan dan profesi.
b. Faktor-Faktor yang Intrinsik dan Yang Ekstrinsik
Faktor-faktor haruslah dibedakan dengan terang dari sebab-sebab dalam arti yang sesungguhnya. Pembedaan ini berlaku baik bagi ilmu alam amupun ilmu sosial. Misalnya,untuk menerangkan meletusnya kerikil karang, daya perlawanan kerikil karang, dinamit dan api yaitu faktor-faktor, sedangkan sebabnya yaitu tenaga dan meluapnya gas. Mengenai fenomena sosial, maka penelaahan alasannya musabab pada suatu pihak dan faktor-faktor dilain-lain, yaitu sulit sekali lantaran hal-hal yang tersebut ini: (a) alasannya dari fakta-fakta sosial selalu terletak di dalam “fenomena sosial total” (menurut Cooley di Amerika dan Mauss di Perancis); jikalau aneka macam aspek masyarakat harus diterangkan, maka aspek-aspek itu haruslah diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang saling berkaitan dan dari aspek-aspek itu harus dipisahkan secara tidak sewajarnya; (b) fenomena total, yang benar-benar merupakan “sebab-sebab” sosial yang nyata, merupakan tipe-tipe kualitatif dari masyarakat-masyarakat yang menyeluruh dan lantaran itu keterangan alasannya musabab berlaku dalam sosiologi hanya dalam tipe khusus yang berkaitan dengannya; (c) aneka macam faktor sosial yang hanya merupakan aspek-aspek aneh dari suatu keseluruhan yang tunggal yang berubah menjadi dalam suatu tipe yang menyeluruh yang kualitatif, yaitu saling berjalinan dan saling pengaruh-mempengaruhi. Jika misalnya, dasar ekologis, ekonomi, agama, magi, moral dan sifat pengetahuan yang berkuasa yaitu faktor-faktor transformasi, dari kenyataan sosial, maka kenyataan aturan ini pada gilirannya merupakan faktor transformasi dari setiap fenomena ini, dan pada umumnya masing-masing ada dalam keadaan yang sama dilihat dari sudut pandang ini.
Dasar Ekologi Masyarakat dan Hukum. Lapisan bawah materiil dari masyarakat, yang intinya bersifat demografis dan geografis yakni volume serta kepadatan penduduk, cara penyebarannya di bumi dan bahkan sifat penyebarannya tidak sanggup disangkal lagi yaitu faktor-faktor dari gerak umum kehidupan sosial (tujuan penelaahan morfologi sosial dalam arti yang sebenarnya) dan gerak aspek-aspeknya yang khusus: ekonomi, moralitas, dan lain-lain, yang oleh Halbwachs dinamakan morfologi sosial “dalam arti seluas-luasnya dari istilah itu.
Durkheim, Mauss, dan Halbwach yang menciptakan telaah-telaahan penting mengenai akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh volume serta kepadatan penduduk dalam masyarakat, selalu menegaskan bahwa kepadatan materiil itu sendiri sanggup dipengaruhi oleh “kepadatan moral”. Durkheim percaya, ia sanggup menunjukan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang bersifat ekstensif dan juga sangat padat penduduknya, di situ aturan restitutif bersesuaian dengan kesetiakawanan organis memegang peranan lebih penting daripada aturan menggunakan pola khusus perihal perubahan-perubahan berdasarkan animo dalam masyarakat-masyarakat Eskimo, berusaha memperlihatkan beberapa sistem aturan suku-suku primitif berlainan dalam animo cuek dan dalam animo panas. “hukum animo dingin”, katanya sangat erat hubungannya dengan hal bertempat tinggal bersama, kenang-kenangan akan klan, dan diresapi oleh agama dan tendensi-tendensi kolektivitas. “hukum animo panas” yang mengatur kehidupan kelompok-kelompok kecil yang bertebaran, mempunyai sifat yang lebih menguntungkan individulisme. Halbwach memperlihatkan aneka macam jawaban dari luas tanah serta kepadatan penduduk dan juga cara berkumpul (di pedusunan, desa-desa yang bertebaran, kota-kota yangsedang besarnya, pusat-pusat perkotaan) terhadap organisasi kehakiman, struktur dan berfungsinya pengadilan, kekerabatan antara hakim-hakim dan mereka yang tunduk kepada pengadilan-pengadilannya dan akhirnya rezim-rezim politik.
Ekonomi dan Hukum. Tidak sanggup disangkal bahwa ada kekerabatan erat antara aturan dan ekonomi, keduanya saling mensugesti secara timbal balik. Ahli-ahli sosiologi Inggris, Hobhouse, Ginsberg dan Wheeler dalam buku mereka, The Material Culture and Social Institutions of the Simple People (1930), telah berusaha memperlihatkan adanya suatu kekerabatan fungsional antara aturan dan ekonomi dengan mempergunakan statistik, dengan memperlihatkan adanya kadar kekerabatan yang tinggi bagi masyarakat primitif, yang memang sungguh sanggup dilakukan bagi tipe-tipe masyarakat lainnya, khususnya masyarakat borjuis dalam taraf peralihan sampaumur ini.
Konsepsi Marx mengenai keutamaan faktor ekonomi yaitu berdasarkan premis-premis rangkap yang sanggup diragukan kebenarannya. Pertama, bahwa aturan hanya untuk suatu proyeksi ideologis, suatu epifenomena dari tenaga-tenaga produktif, yang berarti bahwa aturan tidak mempunyai kenyataan sosial sendiri. Kedua, konsepsi Marx tersebut seluruhnya (Marx menulis bahwa “keseluruhan hubungan-hubungan produksi itulah yang dinamakan masyarakat”, dan Die marxistische Geschichts-, Gesellschafts-und Staatstheorie, 1923, dua jilid, secara panjang lebar mendalami dan membenarkan penyamaan ini). Akhir tesis Marx hingga kepada suatu tautologi: kalau ekonomi dan kenyataan sosial identik, maka jelaslah adanya sifat ketergantungan secara sepihak dari aturan kepada tenaga-tenaga produksi, lantaran perubahan-perubahan dari fenomena sosial hanya ada dalam masyarakat secara keseluruhanya, tidak diluarnya, dan justru demikianlah interpretasi Marxistis perihal ekonomi, yakni ekonomi tidak dianggap sebagai faktor melainkan sebagai sebab.
Konsepsi Stammler, yang merupakan reaksi terhadap marxisme, melebih-lebihkan kebalikannya, Stammler, menjadi tidak sanggup dipengaruhi oleh ekonomi, lantaran ekonomi ini hanya merupakan benda inderawi masyarakat yang dibuat oleh hukum. Tetapi sesudah menyangkal kemudian untuk menganggap aturan atau ekonomi sebagai faktor-faktor, Stammler mebuat aturan tidak sanggup berubah strukturnya dan member tempat yang lebih utama daripada ekonomi, baik aksiologis maupun genetis. Selain sangat bertentangan dengan pandangan metodologis, tesis Stammler juga bertabrakan dengan fakta-fakta yang keras: contohnya sengketa-sengketa yang tidak terbilang banyaknya antara struktur-struktur aturan dan ekonomi. Seperti adanya bidang-bidang kenyataan sosial, yang didalamnya peraturan aturan tidak sanggup diterapkan dan yang dipandang dari segi aturan yaitu sterile (misalnya, bentuk-bentuk kemasyarakatan pasif dan pada kelompok-kelompok di mana sifat pasif merajalela); begitu pula halnya peranan sistem aturan dalam aneka macam tipe masyarakat yang, menyeluruh, yang naik turun kadar intensitasnya.
Teori satu-satunya yang sanggup diterima ialah konsepsi yang menyatakan bahwa dalam aneka macam tipe masyarakat yang menyeluruh, terkadang ekonomi, yang dengan mendahului kenyataan hukum, merupakan faktornya dan terkadang kenyataan aturan yang mengatur kenyataan ekonomi bergerak lebih cepat daripada hukum; lantaran terkadang sangat lamban geraknya, maka perubahan-perubahan didalamnya sangat besar dipengaruhi oleh ekonomi. Tetapi tidak sanggup disangkal pula, bahwa dalam masyarakat feudal kita melihat gerak yang lebih cepat dari aturan dibandingkan dengan ekonomi, terkadang memutuskan dalam keadaan-keadaan yang kaku (hukum raja feudal, monopoli-monopoli gilda), terkadang mendorongnya kepada persaingan bebas dan penumpukan barang-barang (hukum Romawi dan aturan kotapraja-kotapraja merdeka).
Sebaliknya, dalam masyarakat yang patriarkal aturan dan ekonomi satu sama lain saling mempengaruhi, sedang dalam masyarakat primitif dan apalagi dalam imperium teokratis-teokratis karismatis, hukum, ekonomi, agama dan magi, tidak sanggup dibedakan satu sama lain, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang supranatural menguasai aturan maupun ekonomi.
Agama, Moralitas, Pengetahuan dan Hukum. Agama, moralitas dan pengetahuan sebagai mentalitas kepercayaan dan kelakuan kolektif, ada persamaannya dengan aturan lantaran kenyataan bahwa semuanya secara khusus ada hubungannya dengan lapisan-lapisan kenyataan sosial simbolis dan rohani. Tetapi peranannya sebagai faktor-faktor perubahan dalam kenyataan hukum, berubah-ubah bersama-sama dengan tipe masyarakat, dan selain itu, setiap faktor ini tidak sama pengaruhnya terhadap hukum.
Agama dan lebih luas lagi, kepercayaan kepada supernatural memainkan peranan penting dalam kehidupan aturan masyarakat primitif dan masyarakat teokratis-karismatis. Dalam tipe-tipe masyarakat lainnya peranan agama berubah-ubah sesuai dengan intensitas kepercayaan dan struktur gereja dan juga berdasarkan hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Tunduknya gereja kepada pemerintahan kota Purba, misalnya, banyak sekali mengurangi peranan agama sebagai faktor hukum. Kemerdekaan dan kedudukan-istemawa hukumnya dalam abad-abad pertengahan sangat menambah imbas agama Kristen atas aturan (meskipun terpisah dari kehidupan duniawi).
Pada masyarakat maju, yang didalamnya agama, moralitas dan aturan dibedakan satu sama lain, maka kekerabatan kenyataan aturan dan moralitas yang efektif sangat intensif. Hukum merupakan penglogisan dari nilai-nilai moral, yang geraknya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, ada pembiasaan antara tuntutan dan kewajiban. Dengan demikian aturan itu berubah secara eksklusif sebagai fungsi dari perubahan moralitas. Tetapi yang demikian sama sekali tidak berarti, bahwa perubahan moralitas dan perubahan secara mutlak ada sejalan dengan masyarakat. Sebaliknya, ada sengketa-sengketa yang terus-menerus. Dan pada asasnya hukumlah yang pada umumnya terlambat dibelakang moralitas. Ada pun moralitas, dalam langkahnya yang lebih cepat daripada hukum, biasanya merupakan suatu faktor yang paling penting dalam perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam hukum. Moralitas, lantaran strukturnya, yaitu jauh lebih dinamis, lebih revolusioner, lebih bergerak, lebih mengarah kepada masa depan (dari sana ia mendahului pengarahannya) daripada realisasi-realisasi ekonomis, dan keseimbangan kekuatan-kekuatan daripada moralitas.
Pengetahuan sebagai suatu fenomena sosial sanggup bertindak sebagai suatu faktor perubahan dalam kenyataan sosial di bawah dua segi. Pertama, pengaturan secara intelektual, yang sebagai suatu unsur dari semua aturan perubahan pula kepercayaan aturan dan kelakuan-kelakuan. Misalnya, cukuplah terjadi perubahan dalam gagasan perihal alasannya musabab, materi, masyarakat, keperibadian, dan lain-lain, untuk membawa perubahan-perubahan yang hebat pada lembaga-lembaga aturan ibarat tanggung jawab, milik, waris, kewajiban-kewajiban dan lain-lain. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan-perubahan aturan dengan cara yang lebih berpusat dan terbatas. Pengetahuan itu turut terlibat dalam cara-cara mengenal atau mengakui hukum, mensugesti sumber-sumber formal dari hukum. Bahkan orientasi dan pendidikan intelektual para hakim, ahli-ahli aturan di abad-abad pengetahuan, para hakim, jaksa dan guru-guru besar dalam aturan sampaumur ini. Makin dirasionalisasi dan diduniawaikan, sistem aturan itu, semakin kuat imbas pengetahuan itu atas kenyataan hukum.
Psikologi Kolektif dan Hukum. Sebagai lapisan yang terdalam dari kenyataan hukum, yang menembusi segala penjelmaan dan aspeknya, mentalitas kolektif itu sesungguhnya ada di bawah segala faktor yang telah disebut satu per satu. Psikologi kolektif mensugesti aturan dengan tidak eksklusif melalui agama, moralitas, pengetahuan, dan bahkan melalui ekonomi serta dasar marfologis dari masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita pun harus memperhatikan pikiran sehat kolektif sebagai faktor-faktor eksklusif dari kehidupan hukum.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian di atas maka sanggup disimpulkan bahwa:
Dimana sosiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perihal masyarakat dan aturan merupakan ilmu yang mempelajari perihal kenegaraan; peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengatur segala tingkah laku individu dan kelompok-kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Sedang sosiologi aturan merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari perihal aturan dengan segala aspek tanda-tanda sosial dalam lingkungan bermasyarakat. Adapun peletak-peletak dasar dari sosiologi aturan antara lain: Durkheim, Duguit, Levy, Hauriou, Max Weber, Eugene Ehrlich, O.W. Holmes, Roscoe Pound, dan Benyamin Cardozo.
Dalam pembahasan ini ada tiga jenis sosiologi aturan yang diuraikan yakni sosiologi aturan sistematis (mikrososiologi hukum), sosiologi aturan diferensial yang terdiri dari tipologi aturan dari pengelompokan- pengelompokan khusus dan tipologi aturan masyarakat- masyarakat yang menyeluruh, dan terakhir sosiologi aturan genetis.
DAFTAR PUSTAKA
Akshawa. 2012. Jenis - Jenis Sosiologi Hukum.
Novriandra. 2012. Batasan Sosiologi.
Plengdut. 2013. Pembagian Cabang - Cabang Sosiologi.