Skip to main content

Kewarisan Orang Hilang (Mafqud) Dan Banci

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sistem kewarisan dalam Islam yakni sangat bijaksana dan adil. Karena itu, sistem ini mencegah terjadinya pemusatan harta warisan pada kelompok tertentu. Semua jago waris mempunyai hak yang sama sesuai ketentuan hukum, untuk memperoleh serpihan dari harta warisan. Tidak ada dominasi atas klaim kepemilikan warisan. Pewaris dibatasi oleh syariat dalam memilih siapa yang berhak mewarisi hartanya dan berapa besar serpihan yang mesti diberikannya. Kondisi ini mencegah terjadinya perpindahan harta warisan kepada orang tertentu sesuai kecenderungan hati pewaris, atau pengambilalihan pemilikan seluruh harta peninggalan oleh jago waris dengan cara yang tidak sah.
Begitupun kewarisan orang hilang (mafqud) dan kewarisan banci, dua keadaan ini akan menjadi suatu masalah dalam pembagian harta warisan apabila tidak tahu bagaimana ketentuan-ketentuan yang sudah ada, alasannya kedua keadaan itu merupakan suatu keadaan yang tidak lazim kita temui di kehidupan kita sehari-hari.

 Sistem kewarisan dalam Islam yakni sangat bijaksana dan adil Kewarisan Orang Hilang (Mafqud) dan Banci


2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kewarisan Orang Hilang (Mafqud) ?
b. Bagaimana Kewarisan Banci?

3. Tujuan
a. Mengetahui Kewarisan Orang Hilang (Mafqud).
b. Mengetahui Kewarisan Banci

4. Manfaat Makalah
Diharapkan penyusunan makalah ini sanggup menawarkan pengetahuan kepada pembaca mengenai “Kewarisan Orang Hilang (Mafqud) dan Banci”.
BAB II PEMBAHASAN

1. Kewarisan Orang Hilang (Mafqud)
a. Definisi
Al-mafqud dalam pengertian bahasa berarti orang yang hilang. Sedangkan berdasarkan istilah, al-mafqud  itu ialah, orang yang hilang, terputus beritanya, dan tak diketahui rimbanya, masih hidupkah ia atau sudah tiada.

b. Hukum al-mafqud
Para fuqaha  telah  menetapkan beberapa ketentuan mengenai al-mafqud ini, yaitu isterinya  tidak boleh dinikahi, hartanya dihentikan diwariskan dan hak miliknya dihentikan dipergunakan hingga keadaannya menjadi jelas, apakah ia masih hidup ataukah ia sudah meninggal. Atau hingga melewati suatu masa dimana dugaan umum menyatakan bahwa ia telah wafat, dengan dikuatkan oleh keputusan hakim.

c. Ketentuan Masa Kematian al-mafqud
Dalam memilih batas masa yang ditetapkan untuk memutuskan ajal al-mafqud, ulama terbagi dalam beberapa mazhab sebagai berikut:
(1) Mazhab Hanafi
Untuk memutuskan ajal al-mafqud,  mereka berpedoman pada ajal teman-teman sebaya al-mafqud di daerahnya. Jika tidak dijumpai satu pun temannya, maka al-mafqud diputuskan telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Abu Hanifah memutuskan masanya yakni 90 tahun.
(2) Mazhab Maliki
Imam Maliki memutuskan waktunya yakni 70 tahun.
Diberitakan pula bahwa berdasarkan Imam Malik kalau seseorang yang hilang di negara Islam tanpa diketahui beritanya, maka isterinya boleh mengadukan halnya ke hakim setempat yang kemudian berusaha mencarinya dengan segala cara yang memungkinkan mendapat informasi perihal keberadaannya. Jika tidak berhasil maka hakim memutuskan masa empat tahun bagi si isteri untuk menunggu. Kalau masa empat tahun itu telah lewat, maka istri ber’iddah sebagaima ‘iddahnya perempuan yang ditinggal mati suaminya, sesudah itu isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
(3) Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’I beropini bahwa masa yang diharapkan yakni 90 tahun, masa dimana teman-teman di kampungnya telah meninggal. Menurut pendapatnya yang shahih, bahwa batasannya tidak sanggup ditetapkan dengan waktu tertentu. Jika hakim telah memutuskan kematiannya berdasarkan hasil ijtihadnya dengan memperhatikan batas usianya dimana pada umumnya orang yang sebaya dengannya sudah wafat, maka sanggup diputuskan bahwa al-mafqud sudah wafat.
(4) Mazhab Hanbali
Imam Ibnu hanbal beropini bahwa kalau al-mafqud hilang pada situasai yang biasanya sanggup merenggut nyawa seseorang, ibarat  pada ketika terjadi pertempuran yang hebat antara dua kekuatan, atau hilang ketika kapal yang ditumpanginya karam sehingga sebagian selamat dan yang lainnya tenggelam, maka ia dicari selama masa empat tahun. Jika tidak ditemui kabar beritanya, maka hartanya sudah sanggup diwarisi oleh jago warisnya, sedangkan istrinya ber’iddah dengan ‘iddahwanita yang ditinggal mati suami dan boleh menikah lagi sesudah ‘iddahnya habis.
Tetapi kalau al-mafqud hilang pada situasi yang umumnya tidak mengakibatkan kematian, ibarat berpergian untuk berdagang, sedang rekreasi, atau menuntut ilmu, maka Imam Ibnu Hanbal mempunyai dua pendapat:
1. Menunggunya hingga berusia 90 tahun, alasannya umumnya orang tidak hidup lebih dari masa tersebut.
2. Menyerahkan kepada hasil ijtihad hakim yang kemudian memeriksanya. Hasil ijtihad hakim itulah yang dipergunakan untuk memutuskan keberadaan nya tersebut.
Tampaknya pendapat para fuqaha mazhab Hanbali ini lebih unggul.

d. Tata Cara Kewarisan al-mafqud
Bila ada orang wafat dengan meninggalkan sejumlah jago waris yang di antaranya terdapat al-mafqud, maka ada dua keadaan:
1. Al-mafqud (ahli waris yang hilang) tersebut memahjubkan jago waris lainnya sehingga mereka tidak mendapat serpihan sama sekali.
2. Al-mafqud itu tidak sanggup menghalangi, tetapi mewarisi bahu-membahu dengan jago waris yang lain dalam pembagian harta warisan.
Pada Keadaan Pertama.
Harta warisan seluruhnya ditangguhkan dan jago waris lain dihentikan mengambilnya hingga keadaan al-mafqud menjadi jelas. Jika masih hidup, maka ia mengambil seluruh harta, sebaliknya kalau hakim memutuskan ia telah mati, maka jago waris yang lain sanggup mengambil bagiannya masing-masing.
Pada Keadaan Kedua.
Harta warisan seluruhnya ditangguhkan dan jago waris lain dihentikan mengambilnya hingga keadaan al-mafqud menjadi jelas. Jika masih hidup, maka ia mengambil seluruh harta, sebaliknya kalau hakim memutuskan ia telah mati, maka jago waris yang lain sanggup mengambil bagiannya masing-masing.


3. Kewarisan Banci (Khuntsa)
a. Definisi
Istilah al-khuntsa diambil dari kata al-khanats yang artinya lembut atau lunak, yang berarti seorang laki-laki yang berbicara, berjalan atau berpakaian dengan lembut, lunak atau lemah gemulai ibarat cara perempuan berbicara, berjalan atau berpakaian.
Sedangkan berdasarkan istilah Ilmu Faraidh yakni orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus, atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali, dalam keadaan demikian status orang tersebut menjadi tidak jelas, apakah laki-laki atau wanita. Orang yang demikian disebut al-khuntsa al-musykil.
Sebab musykilnya ialah alasannya intinya insan hanya terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang masing-masing mempunyai ketentuan aturan sendiri-sendiri. Laki-laki berbeda dengan perempuan dengan adanya organ kejantanan di tubuhnya, sebagaimana perempuan juga berbeda dengan laki-laki dengan adanya organ kewanitaan di tubuhnya. Karena itu, kalau seseorang mempunyai dua alat kelamin sekaligus atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali, maka masalahnya menjadi rumit, meski adakala hal itu sanggup diatasi, yakni dengan mengetahui dari mana ia kencing. Bila ia kencing melalui alat kelamin laki-laki maka ia laki-laki dan ia mewarisi sebagaimana laki-laki. Sebaliknya kalau ia kencing dari alat kelamin perempuan, maka ia dianggap sebagai perempuan dan mewarisi sebagaimana perempuan.
Tetapi, kalau ia kencing dari dua alat kelamin tanpa diketahui mana yang lebih dahulu, maka ia disebut waria musykil dan kemusykilannya akan tetap berlanjut hingga beranjak usia baligh. Bila ia mimpi lembap sebagaimana lazimnya laki-laki, tertarik pada perempuan atau tumbuh jenggotnya maka ia yakni laki-laki. Sebaliknya kalau yang tumbuh payudara, haid atau hamil, maka ia yakni perempuan. Jika gejala tersebut tetap tidak nampak maka ia dinyatakan sebagai waria musykil.

b. Pendapat Ulama Tentang Kewarisan Khunsta
1. Mazhab Hanafiyah.
Mereka beropini bahwa khuntsa musykil mendapat kurang dari serpihan yang diberikan kepada jago waris laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa khuntsa tersebut sanggup jadi laki-laki dan sanggup jadi perempuan. Maka serpihan yang paling sedikit di antara dua serpihan tersebutlah yang akan diberikan kepadanya.
2. Mazhab Syafi’iyah
Mereka beropini bahwa seluruh  ahli waris termasuk khuntsa musykil diberi kurang dari serpihan yang semestinya, alasannya serpihan tersebutlah yang diyakini sebagai serpihan masing-masing jago waris. Sisa harta warisan dibekukan untuk sementara waktu hingga terang keadaannya.
3. Mazhab Malikiyah
Mereka beropini bahwa khuntsa musykil diberi serpihan pertengahan dari dua bagian. Karena itu, masalahnya diproses dalam dua bagian. Bagian itu disatukan dan dibagi dua. Hasil itulah yang menjadi serpihan khuntsa musykil.

c. Tata Cara Kewarisan Khunsta
Menurut pendapat yang paling kuat, khuntsa diberi serpihan harta warisan bil adharr (yang kurang dari hak semestinya), maka dicermati serpihan yang menjadi haknya dari harta warisan ditinjau dari dua ketentuan, yakni serpihan laki-laki dan serpihan perempuan. Tata cara pembagian tersebut dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama khuntsa itu dianggap sebagai laki-laki, pada tahap kedua, ia dianggap sebagai perempuan. Sementara yang ia terima yakni kurang daripada hak yang semestinya tersebut. Adapun selisih pembagian untuk sementara waktu dibekukan hingga terang keadaannya, atau pada jago waris itu berdamai memilih bagiannya itu. Bila khuntsa ini wafat maka selisih bagiannya itu diberikan kepada para jago warisnya.
Adapun yang dimaksud dengan ungkapan “bil adharr”  yaitu bahwa khuntsa diberi serpihan kurang dari semestinya ialah, bahwa bila bagiannya sebagai perempuan lebih kecil dari bagiannya sebagai laki-laki, maka ia dinyatakan sebagai seorang perempuan. Begitu pula sebaliknya, yaitu bila bagiannya sebagai laki-laki lebih kecil dari pada bagiannya sebagai perempuan maka dianggap sebagai seorang laki-laki. Bilamana dalam salah satu anggapan tersebut ia menjadi mahrum  atau  mahjub, maka gugurlah bagiannya.


BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam Hukum Kewarisan Islam, harta orang yang mafqud disisihkan dan diurus oleh jago warisnya yang lebih erat hubungannya dengan orang mafqud tersebut atau jago waris yang dengan suka rela bersedia mengurus hingga si mafqud terang keberadaannya dinantikan tenggang waktunya 4-5 tahun. sesudah itu barulah diputuskan apakah si mafqud mati secara hakiki atau secara hukmy, kalau sudah terang statusnya, maka harta tersebut boleh dibagikan kepada jago waris lain yang berhak berdasarkan pembagiannya. Maksud dari adanya batas waktu tenggang menunggu yakni semoga jago waris sanggup mencari informasi keberadaannya, serta sanggup mengumumkannya melalui media elektronik/cetak/pihak berwajib.
Khuntsa, yakni orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali. Menurut Imam Hanafi Khuntsa diberikan serpihan yang terkecil dari dua asumsi laki-laki dan perempuan, sedangkan jago waris lain diberikan serpihan yang terbesar dari dua asumsi laki-laki dan perempuan. Menurut Imam Syafi’iSemua jago waris termasuk khuntsa diberikan serpihan yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) hingga dilema khuntsa menjadi jelas, atau hingga ada perdamaian untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para jago waris. Menurut Imam MalikiSemua jago waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua asumsi laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).
Demikianlah cara pembagian warisan bagi khuntsa berdasarkan tiga madzhab. Semoga ada manfaatnya.

2. Saran
Saya telah berusaha untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan pada makalah ini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun tetap saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Al-Sabouni, Muhammad. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.


Sumber https://abdulkodiralhamdani.blogspot.com/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar