Skip to main content

Perkembangan Al-Qadha Dalam Islam Pada Kurun Rasulullah Saw


 Para andal aturan Islam berbeda pendapat wacana kapan dimulainya peradilan dalam Islam Perkembangan Al-Qadha Dalam Islam Pada Masa Rasulullah SAW


Para andal aturan Islam berbeda pendapat wacana kapan dimulainya peradilan dalam Islam, apakah semenjak Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu di Mekkah ataukah semenjak dia diangkat sebagai Rasul Madinah. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa dimulainya peradilan dalam Islam yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, tepatnya ketika terbentuknya sistem pemerintahan di kota Madinah. Sejak itu banyak acara peradilan dilaksanakan Nabi Muhammad SAW., terutama hal-hal yang menyangkut penegakan aturan kepada seluruh warga masyarakat. Pelaksanaan peradilan oleh Rasulullah SAW. Didasarkan kepada surat an-Nisa’ ayat 65 dan surat an-Nisa’ ayat 51. Sejak turun perintah melalui ayat tersebut, mulai ketika itulah Rasulullah SAW melaksanakan tugasnya sebagai hakim, di samping tugas-tugas lain dalam bidang yudikatif dan dakwah islamiah.
Pada awal pemerintahan kota Madinah, hanya Rasulullah SAW. sendiri yang bertindak sebagai hakim. Ketika Islam sudah menyebar ke luar kota Madinah (luar jazirah Saudi Arabia), barulah Rasulullah SAW. mendelegasikan tugas-tugas peradilan kepada beberapa sahabat beliau. Pendelegasian kiprah yudikatif dilaksanakandalam tiga bentuk, pertama: Rasulullah SAW mengutus sahabatnya menjadi penguasa di tempat tertentu sekaligus member wewenang untuk bertindak sebagai hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat, kedua: Rasulullah SAW menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai hakim guna menuntaskan problem tertentu yang terjadi dalam pergaulan masyarakat, penugasan ini biasanya dilaksanakan atas masalah tertentu saja, Ketiga: Rasulullah SAW terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi oleh sahabat yang lain untuk menuntaskan suatu masalah tertentu dalam suatu daerah. Sebelum penugasan diberikan oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya, terlebih dahulu Rasulullah SAW menguji kelayakan kepada orang (sahabat) yang ditugaskan itu.
Dalam melaksanakan tugas-tugas kehakiman, Rasulullah SAW belum memiliki gedung pengadilan yang khusus dibangun untuk keperluan persidangan. Tugas-tugas untuk menuntaskan sengketa dilaksanakan di masjid ibarat sewaktu menuntaskan masalah muamalah dan kasus-kasus keluarga lainnya, atau di lapangan ibarat ketika menghadapi Perang Hunain. Rasulullah SAW juga pernah bersidang yang dilakukan dalam perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Yahya bin Ya’man atas restu dari dia dan juga pernah melaksanakan sidang di teras rumah sebagaimana yang dilakukan oleh Sya’biy atas perintah beliau.
Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah SAW terkesan tidak formal, tetapi rukun-rukun al-Qadha telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih, al-mahkum ‘alaih, dan al-mahkumlah (orang yang menggugat). Pada zaman Rasulullah SAW, orang yang memiliki problem sanggup tiba bersama atau sendirian kepada dia untuk minta diadili atas sengketa yang mereka hadapi, kemudian Rasulullah SAW mengadili para pihak sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada umumnya putusan yang di menetapkan oleh Rasulullah SAW itu diterima dengan secara sukarela dan tidak memerlukan upaya eksekusi. Orang yang tiba kepada Rasulullah SAW untuk mengajukan somasi biar diselesaikan sengketa yang dihadapinya bukan saja dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshor, tetapi juga dari kalangan kaum Yahudi dan Musyrik Mekkah. Rasulullah SAW memutuskan aturan menurut wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan kalau belum ada wahyu dia berijtihad sebagaimana mestinya.
Kebanyakan kasus-kasus yang diselesaikan oleh Rasulullah SAW bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal di dalam suatu program yang bersifat ad hoc pula. Meskipun pelaksanaan peradilan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW terkesan tidak formal, tetapi putusan-putusan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW itu mengandung nilai-nilai keadilan sehingga putusan-putusan itu sangat dihormati oleh semua pihak yang berperkara. Kesederhanaan al-Qadha pada masa ini terlihat paling tidak alasannya yaitu belum adanya gedung peradilan secara sendiri, belum adanya manajemen yang memadai, dan belum layak kasus-kasus yang muncul untuk diselesaikannya.
Ada dua sumber aturan yang dijadikan aliran oleh Rasulullah SAW dalam memutuskan hukum, yaitu wahyu tuhan (Al-Qur’an) dan Ijtihad Rasulullah SAW sendiri. Kalau terjadi suatu insiden yang memerlukan adanya ketetapan hukum, Rasulullah SAW menetapkannya menurut wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. Wahyu inilah yang menjadi aturan atau undang-undang yang wajib diikuti oleh masyarakat. Jika suatu problem belum ada hukumnya yang ditetapkan oleh Allah SWT, maka Rasulullah SAW berijtihad untuk memutuskan aturan dalam suatu problem yang dihadapinya. Hasil Ijtihad Rasulullah SAW itu menjadi aturan atau undang-undang yang wajib diikuti oleh warga masyarakat. Jika Ijtihad Rasulullah SAW salah, biasanya Allah SWT eksklusif member petunjuk biar aturan yang telah ditetapkan menurut Ijtihad itu supaya diperbaiki.
Diantara sahabat Rasulullah SAW yang pernah diangkat menjadi hakim adalah, pertama; Ali bin Abi Thalib, ditunjuk menjadi hakim (kadi) ke Yaman untuk mengadili dan menuntaskan banyak sekali masalah yang terjadi. Rasulullah SAW berpesan bahwa kalau ada dua orang yang bersengketa, janganlah engkau memutuskan perkaranya sebelum engkau mendengar klarifikasi dari dua pihak orang yang berperkara itu, kedua; Muazd Ibn Jabal, ditunjuk menjadi hakim di Yaman. Sebelum Muazd Ibn Jabal melaksanakan tugasnya sebagai kadi di Yaman, Rasulullah SAW bertanya; Bagaimana engkau memutuskan suatu aturan terhadap suatu problem yang engkau hadapi sedangkan hukumnya tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul? Muadz Ibn Jabal menjawab “Aku akan berijtihad sesuai dengan daya  nalarku sendiri”. Mendengar itu Rasulullah SAW bersabda “Segala puji bagi Allah SWT yang telah memperlihatkan taufik kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang diridhai oleh Rasulullah SAW”, ketiga; Huzaifah al-Yamani, diutus oleh Rasulullah SAW untuk memutuskan aturan terhadap dua orang yang bertetangga memperselisihkan wacana dinding tembok yang ada di antara rumah mereka, masing-masing mengaku bahwa dinding tembok itu yaitu miliknya, keempat; Abi Burdah dia diangkat sebagai kadi untuk mendampingi Muadz Ibn Jabal bertugas sebagai kadi di Yaman.
Selain para sahabat sebagaimana tersebut dia atas, tercatat beberapa sahabat yang lain pernah ditunjuk sebagai kadi untuk menuntaskan suatu perkara, di antaranya Umar Ibn Khattab, Khalid Ibn Walid, Yahya bin Ya’mar, Asy-Sya’bi dan Amru Ibn Ash. Ketika Rasulullah SAW menunjuk Amru Ibn Ash untuk menuntaskan suatu kasus, Rasulullah SAW bersabda kepada Amru Ibn Ash “Hai Amr, putuskanlah permasalahan ini”, Amr berkata “Apakah saya akan berijtihad, sedangkan baginda rasul masih ada di sini?” Rasulullah SAW menjawab “Ya, kalau ijtihadmu benar, maka engkau akan menerima dua pahala dan kalau salah engkau akan menerima satu pahala”.



Daftar Pustaka :
Manan Abdul, 2010, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Kencana: Jakarta.


Sumber https://abdulkodiralhamdani.blogspot.com/
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar